Minggu, 24 Juli 2011

Urgensi Pembelajaran Estetika dalam Pendidikan Seni Rupa (Mendukung Pendidikan Karakter)


Esetetika berasal dari Bahasa Yunani, αισθητική, dibaca aisthetike (hal-hal yang dapat dicerap dengan pancaindra), dalam istilah lain: aisthesis (penderapan indrawi), yang berarti perasaan, selera, perasaan atau taste. Pertama kali digunakan oleh filsuf Alexander Gottlieb Baumgarten pada tahun 1735 dengan istilah aesthetica untuk pengertian ilmu tentang hal yang bisa dirasakan lewat perasaan, kemudian berkembang menjadi ilmu tentang keindahan. Beberapa pakar menjelaskan definisi estetika menurut pemikirannya masing-masing, namun pada intinya sama, yaitu bahwa estetika adalah hal-hal yang mempelajari tentang keindahan, kualitas keindahan baik sebagai obyek karya seni, subyeknya, maupun penciptaannya yang berkaitan dengan proses dan tujuan filosofis.
Keindahan itu sendiri merupakan sesuatu yang telah ada sejak peradaban bermula. Rasa untuk menyukai keindahan ada secara sendirinya yang merupakan karunia dari sang Pencipta. Karena sang Pencipta itu sendiri indah dan menyukai keindahan. Tanpa keindahan, hidup akan terasa hambar. Hidup hanya akan menjadi berwarna jika terdapat keindahan. Namun keindahan tersebut sering terbatas dimensi ruang dan waktu. Hal ini menjadi dorongan dari dalam diri manusia untuk merekam keindahan-keindahan tersebut, kemudian mengekspresikannya dalam bentuk-bentuk karya yang dapat diindra, yang bisa dinikmati tanpa terbatas dimensi, hal inilah yang kita sebut penciptaan seni rupa.
Namun di sisi lain, rasa menyukai keindahan juga dapat menimbulkan keburukan. Banyak pertentangan atau perebutan hal-hal yang dianggap indah sehingga menimbulkan permusuhan. Penilaian tentang keindahan juga menimbulkan perbedaan. Definisi keindahan sangat relatif karena pada dasarnya setiap individu memiliki standar tersendiri dalam menilai keindahan. Semua akan menjadi indah jika ada pernyataan indah dari pencipta atau penikmatnya. Keburukan, sesuatu yang kotor, ketidak teraturan bisa menjadi indah jika dipandang oleh seseorang yang menganggap itu indah. Apalagi perkembangan kehidupan manusia yang sangat dinamis, definisi atau batasan-batasan terkadang hanya berlaku sesaat. Hal ini selaras dengan konsep estetika kontekstual yang menjelaskan bahwa estetika ditentukan oleh keadaan, kebudayaan dan peradaban yang berlaku. Dalam perkembangan seni rupa modern Barat contohnya, telah menghasilkan berbagai pembaharuan mengenai konsep penciptaan, yang diawali Renaissance hingga sekarang yang sedang hangat yaitu Postmodernisme. Di Indonesia sendiri seni tradisi, modern, kontemporer maupun postmodern dapat hadir dalam waktu yang sama. Sangat terlihat bahwa penilaian estetika tergantung pada kebudayaan lokal.
Nilai estetika yang relatif tersebut tidak hanya dalam hal apresiasi karya, tidak hanya berada di pihak penikmat seni, namun juga terdapat pada pencipta karya seni atau seniman. Setiap seniman pasti menyatakan bahwa karyanya bernilai estetik, meski respon masa terhadap karya tersebut masih tergantung lagi pada individu masing-masing. Hal ini menjadi alasan bagi kebebasan berkarya. Tidak ada kekangan dan paksaan dalam proses penciptaan karya, dalam hal ini karya seni rupa. Tidak ada alasan untuk menjadi orang lain dengan meniru karya orang atau menghakimi seniman sebagai plagiator dalam batas-batas tertentu meski mengenai hak cipta juga telah ada aturannya sendiri. Kebebasan berkarya juga menjadi syarat penting dalam inovasi berkarya. Tidak terpaku pada kekakuan, mengeksplorasi segala kemungkinan yang ada, menciptakan pembaharuan.
Namun ternyata dalam penciptaan ini sering merugikan pihak-pihak lain. Egoisme seniman yang memaksakan karyanya diterima masyarakat meski telah ditolak menjadi sumber masalah. Seperti nilai estetik dalam karya-karya ‘pornografi’. Seniman yang menciptakan karya tersebut beranggapan bahwa karyanya bukanlah karya porno, merupakan karya seni yang memiliki nilai estetik tersendiri. Tapi bagi masyarakat umum, -biasanya- akan mengganggap karya tersebut tidak layak dipublikasikan karena melanggar norma dan etika. Sebagai seniman seharusnya memahami tentang tanggung jawab berkesenian, yaitu keharusan seniman menanggung berbagai akibat dari karya seni yang dihasilkan berdasarkan kebebasan berekspresi.
Meski demikian, seharusnya norma-norma dalam masyarakat tetap dijadikan acuan penting dalam penciptaan karya. Penilaian estetik secara umumlah yang dipakai. Penciptaan karya sudah seharusnya mempertimbangkan penerimaan masyarakat dan tidak merugikan pihak manapun. Juga tidak lepas dari norma dan nilai-nilai Ilahiah. Konsep penciptaan karya seni rupa yang benar tentu adalah yang berdasarkan pada penghambaan dan pengagungan kepada Sang Pencipta. Karena itu tetap perlu aturan-aturan yang menjadi dasar dalam berkarya, yang menjadi pegangan agar penciptaan karya tidak terlalu jauh melewati batas etika dan estetika. Misalnya tentang prinsip-prinsip mengolah rupa seperti ritme, harmoni, balance, kemudian pemahaman tentang norma-norma penciptaan, serta pembelajaran estetika itu sendiri. Di sinilah urgensi pembelajaran estetika pada pendidikan seni rupa. Berkesenian tanpa ada intuisi estetik tidak akan menjadi sebuah seni yang benar-benar mrngekspresikan keseluruhan jiwa manusia.
Sebelumnya, kita harus memahami dulu tentang definisi pendidikan. Apa itu pendidikan seni rupa.
Pendidikan pada dasarnya adalah proses komunikasi yang didalamnya mengandung transformasi pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan, di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung sepanjang hayat (life long procces), dari generasi kegenerasi (Ilmu Pendidikan, 2008). Melalui proses pendidikan ada transfer ilmu, transer pengetahuan, transfer keahlian, transfer budaya dari generasi tua ke generasi muda sehingga terbentuk sebuah budaya yang terus berkembang namun tetap memiliki kekayaan budaya awal.
Sedangkan seni rupa adalah cabang seni yang membentuk karya seni dengan media yang bisa ditangkap mata dan dirasakan dengan rabaan. Kesan ini diciptakan dengan mengolah unsur-unsur seni rupa antara lain: konsep garis, bidang, bentuk, volume, warna, tekstur dan pencahayaan dengan acuan estetika. Secara kasar terjemahan seni rupa di dalam Bahasa Inggris adalah fine art. Namun sesuai perkembangan dunia seni modern, istilah fine art menjadi lebih spesifik kepada pengertian seni rupa murni untuk kemudian menggabungkannya dengan desain dan kriya ke dalam bahasan visual arts.
Dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan seni rupa berarti pembelajaran dan pelatihan yang mengandung transformasi pengetahuan dan keterampilan-keterampilan mengenai karya seni yang bisa diindra oleh mata dan dirasakan dengan rabaan.
Lewat pendidikan seni rupa, ada transfer keterampilan, mahasiswa dilatih untuk dapat menciptakan karya yang bermutu. Mahasiswa dilatih merasakan sehingga timbul kepekaan terhadap rasa, peka terhadap karya, apresiatif dan kritis. Ada transfer nilai-nilai, sehingga karya yang dihasilkan tidak hanya indah namun juga memiliki makna yang bermanfaat.
Dalam pendidikan Seni Rupa terdapat 4 materi pokok yang harus dikuasai, yaitu:
1.   Kegiatan apresiasi seni.
Bertujuan untuk mengembangkan kesadaran, pemahaman, dan penghargaan terhadap karya seni, yang dilakukan melalui pengamatan dan pembahasan karya seni.
Lewat kegiatan mengapresiasi inilah didapatkan pengalaman estetik, melalui pencerapan nilai-nilai instrinsik pada bentuk atau komposisi karya seni. Didapat pula pemahaman mendalam mengenai karya. Konsep berkesenian yang diawali dari pemindahan objek yang diamati kemudian diproyeksikan ke dalam karya, pengungkapan ini tergantung pada kecermatan mata terhadap objek dan kemampuan mempresentasikannya dalam karya, karena itulah kepekaan terhadap alam sekitar menjadi hal yang sangat penting.
2.      Kegiatan berkresiasi seni.
Bertujuan untuk menghasilkan atau berkarya.
Berkarya melalui beberapa tahapan:
a. Melatih diri, mengasah rasa, menemukan nilai estetis dalam berkarya. Hal ini bisa didapat melalui pembelajaran seni rupa dasar, melatih prinsip-prinsip dasar seni rupa.
b.  Eksplorasi dan eksperimen. Dalam mencapai kematangan karya diperlukan kegigihan bereksplorasi, dengan konsep trial and error, patang menyerah, terus berkarya agar kekayaan konsep dapat dikuasai.
c. Pemantapan karya. Setelah melalui proses latihan dan eksplorasi, seniman mulai menemukan jati diri dan mampu menghasilkan karya dengan ciri khasnya sendiri.
3.    Kegiatan penyajian seni.
Meliputi penyajian dalam seminar dan pameran.
4.   Kegiatan kritik seni.
Bertujuan untuk memperoleh pemahaman dan kemampuan menilai karya seni, yang dilakukan secara lisan dan tertulis. Kritik seni meliputi langkah-langkah: deskripsi, analisis bentuk, interpretasi, dan evaluasi.
Menyikapi keprihatinan terhadap kemerosotan sikap kritis masyarakat terhadap karya, pembelajaran estetika menjadi suatu hal penting dalam pendidikan seni rupa. Perlu dimunculkan sikap kritis dan kepekaan terhadap karya seni, sehingga masyarakat terbiasa melakukan kritik seni. Kritik seni dan apresiasi terhadap karya seni dapat meningkatkan inovasi dan perkembangan dalam penciptaan karya. Sehingga karya yang dihasilkan tidak hanya terpaku pada karya yang sudah ada, namun mengalami perkembangan dan perbaikan dari masa ke masa.
Output pendidikan seni rupa ada 2 macam, yaitu: seniman dan tenaga pendidik. Sebagai tenaga pendidik, kemampuan menilai estetika sangat dibutuhkan karena dalam pelaksanaannya nanti, guru akan senantiasa dihadapkan dengan karya siswanya. Guru tentu harus mampu menilai dan memberi alasan terhadap penilaiannya tersebut. Tidak sekedar itu, ada nilai nilai yang harus disampaikan guru. Tanggung jawab besar yang harus dibawa. Pemahaman terhadap kebenaran harus bisa disampaikan dengan baik agar dapat dimengerti. Tentu diperlukan aspek lain dalam diri guru yaitu: kemampuan mendidik. Hal itu bisa di dapat melalui pembelajaran estetika dan budi pekerti. Membentuk karakter pendidik yang apresiatif, kreatif dan bermoral.
            Akhirnya, sudah seharusnya ada kebermanfaatan dari mendalami dan mempelajari ilmu estetika, antara lain sebagai berikut:
1.     Pemahaman mendalam mengenai pengertian rasa keindahan dan berkesenian.
2.      Memupuk ketajaman dan sensitifitas merasa dalam berkarya.
3.      Memperkokoh rasa cinta kepada kesenian.
4.      Mempertajam kemampuan penilaian karya seni atau mengapresiasi.
5.     Melatih disiplin diri dalam cara berfikir dan mengatur pemikiran secara sistematis, membangkitkan potensi untuk berfalsafah yang akan memberi kemudahan dalam menghadapi segala permasalahan dan memberi wawasan yang luas dan bekal bagi kehidupan spiritual dan psikologis. (Benni Irawan)
6.   Mewaspadai pengaruh-pengaruh negatif dalam berkesenian dan yang dapat merusak mutu dan kelestarian nilai-nilai budaya.
7.     Ikut dalam proses pencerdasan masyarakat, memperkokoh keyakinan masyarakat dalam hal kesusilaan, moralitas, perikemanusiaan dan ketuhanan.
Penulis : Dwi Wulandari
NIM     : 10206241020
Email    : senja16@ymail.com
Referensi:
Irawan, Benni dkk. Makalah Seminar Nasional Seni Rupa: Konsep Penciptaan Seni Rupa. 2011. Yogyakarta.
Sachari, Agus. Estetik Terapan: Spirit-Spirit yang Menikan Desain. 1989. Nova: Bandung
Siswoyo, Dwi dkk. Ilmu Pendidikan. 2008. UNY Press: Yogyakarta.
Sugihartono dkk. Psikologi Pendidikan. 2007. UNY Press: Yogyakarta
Wikipedia Bahasa Indonesia, 2011

2 komentar:

  1. izin ngopi neng http://muhakbarilyas.blogspot.com/

    BalasHapus
  2. Gimana dari segi keislamannya ukht? Ada referensinya gak ya. Ane lagi buat tulisan yang berkaitan dengan lukisan tapi yang bercirikan corak Islam takut salah makanya masih searching, ternyata jarang yang angkat masalah ini

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komunitas Blogger Muslim