Senja

Selasa, 19 Oktober 2010

Menemukan Jawa

 (Tugas B.Indonesia)


Terkesan pada kemeriahan pembukaan OSPEK Universitas pada tanggal 2 Agustus 2010, saya jadi teringat pada daerah tempat saya dibesarkan. Musi Rawas, kabupaten berkembang di sisi barat provinsi Sumatera Selatan.


Berlatar belakang penduduk yang sama, karena mayoritas penduduk bumi lan serasan sekantenan ini –terutama kecamatan di mana saya tinggal, Tugumulyo- adalah transmigran yang berasal dari Yogyakarta dan wilayah Jawa lainnya. Memiliki kemiripan fisik manusianya, bahkan bahasa dan cara hidup yang tidak jauh berbeda. Saya sendiri terkejut ketika menemukan kondisi kehidupan Yogyakarta yang sama dengan daerah mirasi (Kecamatan Tugumulyo lebih dikenal dengan sebutan ‘mirasi’, kemungkinan besar berasal dari pergeseran bunyi kata ‘transmigrasi’) , seperti berada di rumah sendiri. Tetapi ada sesuatu yang tidak saya dapatkan dari kabupaten itu, yang akhirnya saya dapatkan di Yogyakarta, terkhusus di OSPEK UNY 2010 hari pertama.


Kebudayaan yang kental.


Begitu bergetar hati saya ketika 20 orang penari masuk ke GOR UNY mendampingi kehadiran Bapak Rektor beserta staff. Di iringi tabuhan musik gamelan yang romantis dan menyejukkan hati. Seperti ada kekuatan magis yang membuat saya nyaris menitikkan air mata. Belum lagi keluesan penari-penari yang membuat saya terhanyut ke dalam dunia mimpi yang awalnya hanya bisa saya reka dengan sketsa khayal yang masih samar, tapi hari itu mimpi jadi nyata. Saya menemukan Jawa di depan mata!


Ya, saya memang lahir di tanah Sumatera, tapi darah saya berasal dari darah kedua orang tua Jawa serta lingkungan yang berlatar belakang Jawa. Ada kecenderungan untuk mencari dan lebih menyukai kebudayaan Jawa.


Di tanah Dayang Torek (Salah satu cerita rakyat daerah Musi Rawas) saya merasa kering. Saya tidak menemukan Jawa yang sesungguhnya dan tidak pula merasakan keberadaan nyata budaya Musi Rawas sebagai budaya asli. Saya yakin masyarakat lain juga meraskan hal yang sama. Masing-masing kebudayaan seperti bayang-bayang, antara ada dan tiada. Karena memang daerah transmigran ini memiliki kebudayaan yang heterogen, berasal dari Jawa dan wilayah lain Sumatera. Ketika semua pendatang masuk membawa kebudayaannya sendiri, maka otomatis meluruhkan kekuatan kebudayaan yang lain. Pada akhirnya tidak ada kebudayaan yang benar-benar murni berkembang di daerah tujuan transmigrasi seperti ini.


Saya pernah menanyakan kepada seorang pemerhati kebudayaan di Sumatera Selatan di suatu forum pelatihan kepemimpinan siswa. Budaya mana yang harus benar-benar diangkat? Bagaimana sebaiknya? Saya menemukan jawaban yang tegas menyenangkan tapi jika direnungkan lagi membuat saya semakin kering.


“Budaya itu tidak perlu di pilih, mana yang harus di lestarikan dan mana yang harus ditinggalkan. Karena budaya adalah proses kehidupan yang berkembang seiring berjalannya waktu, tidak bisa dipaksakan,” kira-kira seperti itu jawabannya.


Yang ada dalam pikiran saya adalah, bagaimana bisa hanya mengandalkan proses waktu alami yang nyatanya hanya membuat kebudayaan tradisi itu hilang dan yang berkembang –yang lebih diminati masyarakat khususnya kaum muda- saat ini adalah budaya barat yang sama sekali bukan berasal dari nenek moyang bangsa. Parahnya, budaya barat tersebut bukannya memberi dampak baik malah lebih banyak membawa efek negatif.


Sangat buruk. Kita sebagai manusia berdarah Yogya, berdarah Minang, berdarah Musi, berdarah Aceh, berdarah Sunda, berdarah betawi, berdarah Purbalingga, tapi dalam budayanya mencerminkan darah dunia lain. Saya juga jadi terpikirkan, kenapa Bali itu lebih diminati wisatawan daripada daerah lain? Apakah karena alamnya? Yang nyatanya semua sisi tanah pertiwi ini memiliki keindahan yang sama dengan ciri khasnya masing-masing? Jadi apa yang menjadi kelebihan Bali? Ya, yang menjadi daya tarik adalah karakter manusianya yang tetap mempertahankan kemurnian budaya meski tanah Dewata itu telah dimasuki begitu banyak budaya asing.


Memang, Musi Rawas bukanlah Bali. Mencerminkan keragaman karakter manusia dan budaya. Sehingga timbullah jawaban dari dalam diri saya sendiri yang sekedar mampu menjadi obat penenang untuk sementara ini. Kami ingin mengembangkan semua kebudayaan di Musi rawas. Berusaha setotal mugkin mengembangkan kebudayan asli Musi Rawas dan kebudayaan lain yang turut hidup di dalamnya. Menjadikan semua yang ada sebagai kekayaan budaya bumi Silampari . Namun, karena menyadari latar belakang saya adalah kebudayaan Jawa, maka saya akan memprioritaskan budaya Jawa dalam pengembangannya. Dan saya mendapatkan sumber pembelajaran budaya Jawa di Yogyakarta dengan UNY sebagai kawah candra dimukanya.


Saya hanya lebih beruntung dari teman-teman yang hanya bisa mengelus dada ketika nihil mencari namanya di daftar nama peserta yang lolos SNMPTN. Berkesempatan merengkuh ilmu di Universitas yang luar biasa ini, terlebih di dalam fakultas yang begitu mencintai keindahan budaya dan bahasa. FBS, Fakultas Bahasa dan Seni, kampus Ungu. Prodi yang menyenangkan, Pendidikan Seni Rupa –walau saya agak terkejut dengan biaya yang harus ada guna kelancaran berkarya-. Belum lagi kegitan ekstranya yang begitu menjanjikan untuk memberi embun penyejuk pada keringnya jiwa saya. Agama dan budaya. Lewat Al Huda, UKKI, Serufo dan Kamasetra, saya ingin mencari jati diri yang selama ini saya impikan.


Saya hanya berharap keberuntungan yang diberikan oleh Allah, dukungan keluarga dan orang-orang di sekeliling saya, serta visi saya merantau ke Yogyakarta tidak sia-sia. Saya ingin kembali ke Musi Rawas bukan hanya sekedar membawa pulang selembar ijazah, tapi saya akan membawa seni dan budaya Jawa yang sebenarnya. Semoga Allah memperkenankan.

2 komentar:

  1. kebetulan aku juga dari Musi Rawas,tepatnya dari Tugumulyo.sebetulnya aku juga punya ide seperti itu yaitu melestarikan kebudayaan yang ada di Musi Rawas.di Tugumulyo sudah ada wadah kesenian Jawa, lebih tepatnya kelompok karawitan yaitu Mardi Laras.

    BalasHapus
    Balasan
    1. O ya?
      saya baru tahu malah. Lokasinya di mana?
      bagus,,, semoga bisa berbagi nantinya,,

      Hapus