Senja

Senin, 25 April 2011

KCB (Ketika Cahya Bertasbih)

            Sudah dua hari Cahya ikut MOS, sudah dua hari pula Cahya mengamati gadis manis berjilbab itu. Gadis yang tak lain tak bukan adalah seniornya itu sudah membuatnya tidak konsen mengikuti MOS sampai hari ini.
            “Yo! –karena Cahya orang Jawa tulen, dia lebih akrab dipanggil Cahyo- Kamu tu dipelet kali! Masa sejak ngeliat mbak Isci nempel pengumuman di mading kemaren, kamu jadi begini!” ucap Joko sambil terus mengunyah makanan hasil persilangannya (baca: tahu isi). Istirahat tinggal lima menit lagi.

            “Ngawur!” Bentak Yanto tiba-tiba. Bakso yang baru saja masuk ke mulut Cahya langsung nyembur, nyaris mendarat di muka Joko. Cepat-cepat Cahya mengelap muka Joko dengan tissue, tapi pandangannya marah ke arah Yanto.
            “Kamu tu!” bentak Cahya.
Joko yang tambah sebel mukanya diobok-obok Cahya langsung membentak, “Ngawur opo!” Karena kaget lagi, Cahya segera menarik tangannya.
“Ya iya dong! Masa berjilbab pakai pelet!” Yanto menyendok bakso yang meloncat ke samping mangkok tekwannya tadi, menyiramnya dengan es jeruk, dan setelah yakin cukup bersih, ia langsung melahapnya. “Lumayan…” batinnya.
“Mungkin saja sih Yan,” bela Joko. “Hari gini, susah percaya sama orang berjilbab. Banyak kok cewek berjilbab tapi kelakuannya ora karuan.”
“Oke, memang bener. Tapi nggak dengan pacarku!” ucap Yanto bangga. “Dia cewek berjilbab yang baik, keren, paling top deh!” Yanto mengacungkan kedua jempol tangannya. Nyaris jempol kakinya ikut naik demi menggambarkan ke”sempurna”an si Doi, tapi keburu ditahan Joko.
“La iya sama saja!” ucap Joko dengan wajah menghina. “Masa jilbaber pacaran!”
Ups! Yanto mati kata.
“Sudah, sudah!” lerai Cahya. “Memangnya masalahnya tu apa sih?”
Khhyyaaaa!!! Malah tanya!
“Oooo… Soal mbak Isci!” Cahya baru nyadar. “Sudahlah! Ini tu urusanku! Kalian nggak usah ikut-ikut deh!” Dan mereka pun melanjutkan makan masing-masing dengan damai dan tentram. Tidak ada yang berani bicara lagi. Sampai suatu ketika…
BRAK! Meja mereka di pukul seseorang, mereka mendongak perlahan. OMG! Kakak senior!
“Kalian ini! Baru jadi calon siswa saja sudah ngelunjak. Makan lelet banget! Awas kalian ya! Hitungan ke sepuluh sudah harus ada di kelas! Satu…” kakak itupun terus menghitung. Ketiga ABG (Anak Baru Gila) itupun pontang-panting keluar kantin. Sampai-sampai mereka tidak lagi mendengar panggilan ramah dari penjual kantin.
“Woi! Bayar dulu woi!”

Tepat hitungan ke sepuluh mereka sudah berdiri di depan kelas sambil mengemut empeng. Senior-senior menatap mereka sinis, salah satunya mbak Isci.
“Kalian kemana saja? Tidak tahu apa…” bla-bla-bla, kak Yadi si Senior Tergalak terus ngomel, mereka bertiga merinding. Dan akhirnya, “Mau di apain mereka?”
Mbak Isci mendekati mereka lalu berhenti tepat di depan muka Cahya. Yanto dan Joko mengamati perubahan wajah sohib mereka, wajah Cahya jadi merah dan langsung menunduk, mereka menahan tawa. Sedangkan mbak Isci mengeluarkan sesuatu dari sakunya, “Kamu mirip seseorang…” ucapnya seolah berusaha mengingat sesuatu. Segera saja mbak Isci mengalungkan tasbih yang dia keluarkan dari saku ke leher Cahya. “Tuh, bener kan! Kamu mirip Syekh Puji!”
Mendadak kelas jadi riuh. Tidak hanya senior, peserta lain pun tertawa terbahak-bahak. Cahya cuma meringis. Dia nrimo banget dipanggil Syekh Puji.

***

“Anak tante kenapa ya Yan, Jok?” ucap simboknya Cahya sambil menaruh minuman limun di meja, lengkap dengan dua toples kecil cemilan.
Simboknya Cahya nekat minta dipanggil tante, padahal kalau kata orang Betawi “Die mah kagak ade pantes-pantesnye dipanggil tante!”. Habisnya, dulu waktu remaja dia pingin banget jadi tante girang (hehe… Naudzubillah!) Untung tidak kesampaian, soalnya ketemu bapaknya Cahya yang guru ngaji, Alhamdulillah.
“Memangnya kenapa tante?” tanya Joko sambil mengambil segelas limun.
“Itu. Padahal MOS kalian sudah selesai, kan? Tapi si Cahyo masih aja seneng main sama perlengkapan MOSnya, sering pulang sore, jarang makan di rumah. Yang lebih tante khawatirin, dia sekarang rajin banget zdikir. Bukannya gimana, terakhir kali si Cahyo rajin zdikir ternyata dia minta sama Allah di beliin sepeda baru. Apa nggak puyeng nih orang tua. Tahu sendiri kan keadaan keluarga tante bagaimana. Bapaknya Cahyo habis di pecat dari Akper cuma bisa jadi tukang ojek. Boro-boro beli sepeda, makan aja susah…”
Yee… tante malah curhat.Buru-buru Yanto potong, “Pakai tasbih yang warna putih itu ya Te?”
“Lo kok tahu?” tanya tante tambah khawatir.
“Berarti bener,” tambah Joko. “Anak tante lagi jatuh cinta!”
Tante kaget bukan main, hampir saja sakit jantungnya kumat. “Apa hubungannya?”. Akhirnya Joko dan Yanto bercerita. Tante segera menutup mulutnya yang tiba-tiba membuka. “Kok ekspresinya begitu sih Te?” Joko ketularan kaget.
“Duh Jok, ini yang tante takutkan. Tante takut banget kalau Cahyo jatuh cinta terus pacaran…” Joko tambah bingung, sedangkan Yanto sibuk makan cemilan yang kini sudah ada di pangkuannya.
“Kalian tahu kan? Namanya pacaran nggak ada dalam Islam. Mana pacaran itu deket banget sama zinah. Nauzdubillah… Tante nggak mau anak tante sampai dekat-dekat dengan zinah!” Wuih! Simboknya Cahya sudah mirip banget dengan Mamah di acara Mamah dan Aa’ jam 5 pagi di Indosiar.
Joko sekarang faham. Sebagai teman dia ikut prihatin. Dia tidak mau sohib terbaiknya ikut jejak Yanto yang tidak karuan ini.
“Oke tante! Joko akan coba mendekati Cahyo, semoga Joko bisa ngeringanin demam cintanya Cahyo. Tapi Tante juga usaha ndeketin Cahyo ya, gimanapun Tante kan ibunya,”
Simboknya Cahya mengangguk takzim. Ia percaya pada Joko dan dirinya sendiri. Pasti anaknya akan kembali menjadi Cahya yang dulu. Sedangkan Yanto masih sibuk dengan cemilannya yang tinggal keping terakhir.

***

Hampir satu bulan berlalu, Joko sudah berusaha sebaik mungkin, tapi tidak sedikitpun merubah keadaan. Malah keadaan Cahya semakin parah. Sekarang hari minggupun Cahya tidak pernah ada di rumah. Pergi pagi pelang petang, itu terjadi stiap hari. Simbok khawatirnya tambah tidak karuan. Dia takut, jangan-jangan anaknya…
Simbok sudah putuskan, malam ini simbok harus tanya langsung ke Cahya. Kebetulan malam ini Joko dan Yanto diajak Cahya makan di rumah. Sebenarnya simbok agak keberatan, soalnya nafsu makan Joko dan Yanto besar banget. Tapi tak apalah, semua ini demi anak semata wayangnya.
Awalnya semua diam, hanya bapaknya Cahya saja yang sesekali batuk, -maklum, pernah kena tuberkulosis-. Merasakan suasana yang kaku, simbok langsung to the point mengintrogasi Cahya.
“Yo, apa bener kamu lagi jatuh cinta?”
Cahya langsung tersedak.
“Apa bener kamu sekarang sedang pacaran?”
Mata Cahya melotot, tidak percaya simboknya akan menanyakan hal itu.
“Yo, bukannya gimana. Tapi simbok takut kamu kenapa-kenapa. Lihat akhir-akhir ini! Kamu nggak pernah ada di rumah, pergi pagi pulang magrib. Simbok sama bapak takut kamu sudah ngapa-ngapain di luar sana. Kamu masih kelas satu SMA Yo… masih punya masa depan, kami nggak mau kamu putus sekolah cuma karena hal-hal yang nggak bener. Inget sama Allah le! Kalau kamu memang sudah cinta bener, mbok yo sabar. Tunggu sampe kamu lulus, bapak bakal siapin langsung untuk pernikahan kamu…”
Hihi… Yanto dan Joko menahan geli, sedangkan bapak cuma berdehem, ekhem…
Cahya tidak menjawab sepatah kata pun, dia diam seperti memikirkan sesuatu. Tiba-tiba dia bangkit lalu masuk ke kamar. Semua saling berpandangan tak mengerti. “Wah, sudah bener-bener gila nih Cahya…” bisik Yanto di sambut dengan tatapan marah simbok, bapak, dan Joko. Yanto langsung terdiam.
Tak lama Cahya keluar lagi dan berdiri di samping simboknya, dia meletakkan amplop ke atas meja.
“Apa ini Yo?” simbok membukanya perlahan. “Uang?”
Cahya menjawab dengan santai, “Iya mbok. Ini alasan kenapa Cahyo sering pergi. Cahyo selama ini kerja dan ini honor Cahyo yang Cahyo kumpulin,”
Simbok melongo, bapak mangap, mirip Mbah Surip gitu.
“Te… terus… Mbak Isci…? Tasbih…? Zdikir…?” Joko bingung.
“Ooo… itu… Sebenarnya waktu Cahyo SMP, Cahyo pernah ketemu mbak Isci di warnet. Mbak Isci kagum sama keahlian Cahyo main computer. Terus, mbak Isci nawarin Cahyo kerja di warnetnya. Cahyo nggak langsung terima. Makanya, waktu MOS kemaren Cahyo mau tanya sama mbak Isci, tawaran yang dulu masih berlaku apa nggak. Alhamdulillah… Cahyo boleh kerja di sana. Jadi, bukannya Cahyo ada apa-apa sama mbak Isci. Lagian cahyo masih ingin fokus belajar kok.”
Joko ber-ooo panjang.
“Soal tasbih dan zdikir, Cahyo memang sedang minta sama Allah supaya simbok dan bapak dimudahkan rezeki dan Cahyo bisa sekolah dengan uang sendiri. Alhamdulillah, Allah ngabulin doa Cahyo. Sekarang simbok nggak usah bingung-bingung mikir uang buku dan sekolah Cahyo. Cahyo sudah bisa beli buku paket sendiri…”
Simbok terharu, ia langsung memeluk anak kesayangannya Itu. Tak pernah sebelumnya simbok merasakan bahagia yang seperti ini.
“Maaf ya pak, mbok. Cahyo nggak bilang dulu soal ini. Jadi bikin simbok dan bapak khawatirin Cahyo…” bisik Cahya.
Tidak terasa bapak meneteskan air mata. “Bapak bangga sama kamu Yo,” ucap bapak dalam hati. Joko pun ikut sesenggukan. Malam itu mereka kembali bermuhasabah, dan bertasbih kepada Allah. Betapa besar cinta Allah, mengalahkan segala cinta makhluknya.


“Makanya! Jangan su’udzon dulu…” cetus Yanto yang masih mengunyah tempe gorengnya.




1 komentar:

  1. ^_^
    subhanallah, dekkkk........
    apiiikkkkssss....!!!
    ajari mbuat cerpenn dek....
    hiks..
    sipp2!!

    salam buat tante..hehe

    BalasHapus