Senja

Jumat, 09 November 2012

Kau tak lagi bisa kukenali...

Hari ini ada yang sempurna menghilang.

Mulai terasa sepi dan menghanyutkan. Tapi itulah hidup. Datang dan pergi menyisakan kedewasaan yang mesti ditelan mentah-mentah. Aku butuh air minum, karena potongannya terlalu besar, nyangkut di tenggorokan.

Dua hari kemaren itu seperti game konyol, dan ditutup dengan senja yang begitu menyedihkan.

Perpisahan dengan orang-orang hebat yang selalu menebar cinta ke manapun perginya sama sekali tidak membuatku menangis. Sedikit bergetar memang. Hanya gemetar, karena takut menghabiskan waktu mereka. Meski telah kupeluk mereka satu-persatu, benar-benar tidak kurasakan lagi cinta itu. Datar ya... sedatar baju yang baru saja disetrika.
Berharap aku bisa mencintai mereka lagi...


Dan tentang mimpi.
Meninggalkan rumah media yang hampir 2 tahun kutinggali sedikit menyisakan kebingungan. Aku mau ngapain setelah ini? Jobless. Pengangguran. Masa 2 bulan ke depan aku jadi rongsokan di dalam kamar.
Tapi sedikit cahaya itu membuatku bernafas lega.
Tantangan baru: tawaran menjadi redaktur foto di suara Ungu!
Sedikit berat, memang. Harus berada di tengah orang-orang yang harusnya kujauhi. Gentar dan masih trauma dengan julukan-julukan yang mereka berikan untukku. Autis...

Tapi aku yakin, aku bisa...


Dan tentang senja...

Satu hari yang bergulir dengan kecemasan.
"Kau tak lagi bisa kukenali..."
Sebuah kalimat yang berhasil men-skak math seluruh akal sehatku. Rasanya seperti: ingin menjelaskan banyak hal, ingin mengingatkan banyak hal, ingin mengklarifikasi banyak hal, ingin menceritakan banyak hal, ingin...

Tapi hingga 13.20, tak satupun kata yang berhasil kurangkai. Berharap dengan sangat dia membatalkan janji pertemuan. Agar aku tidak punya kewajiban untuk mengisahkan banyak hal...
Waktu berlalu... Ia menyuruhku menunggu...
Dan aku masih bingung, apa yang harus kukatakan padanya nanti.

16.43
Dia datang... dengan suara gesekan sepatu yang khas.
Gemetar. Tiba-tiba aku merasa seperti seorang murid yang takut pulang ke rumah karena tidak lulus Ujian Nasional. Gemetar. Hanya mampu mengeluarkan berkas-berkas. Gemetar. Untungnya, headset dan novel tebal itu berhasil menyelamatkanku dari suasana yang begitu dingin.

Satu menit...

Dua menit...

Beberapa patah kata yang terdengar begitu kaku.
Sebuah percakapan singkat yang terdengar begitu kering.

Akhirnya dia kusuruh pergi.
Dan dia benar-benar pergi...

Dingin.
Kini aku sadar semuanya sudah benar-benar berubah.
Entah doa yang mana. Tentang kata-kata 'ingin menghilang', 'ingin berpisah'. Benar-benar terkabul...
Semuanya sudah menjadi begitu asing... Ada banyak doa yang terkabul...

Tapi kenapa aku meneteskan air mata...?

...

Dan tentang apel itu.
Aku sama sekali tidak berniat untuk menolaknya. Aku tahu betapa sakitnya seseorang yang telah memberi dengan begitu ikhlas, namun ditolak. Tapi enggan kuakui kalau Apel itu mengingatkanku pada banyak hal.

Dan sekelebat kenangan itu kembali menghujani otakku.
Ingatan tentang apel, malam, ayah, mamak, mie ayam, roti tawar, es krim, pantai, benteng, sakit, persahabatan, larangan, dan kehilangan menyentak batin.

Setelah ini, aku tak akan pernah mengizinkan hatiku untuk mencintai terlalu dalam lagi.
Tidak akan pernah kuizinkan.

...

Bapak.
Di telponnya yang terakhir tentang pemberitahuan bahwa aku keluar dari 2 organisasi ini, dia bilang itu wajar.

Bapak tidak akan mengkhawatirkanmu jika ini masalah orang-orang yang membencimu karena kau memilih untuk keluar. Kau akan terbiasa. Kelak di kehidupan nyata, di masyarakat, saat menjadi guru, apalagi sebagai kepala sekolah, kau akan sadar bahwa itu hal biasa yang akan terjadi. Orang-orang akan membencimu atas banyak alasan, bahkan alasan yang tidak akan pernah kau percayai. Alasan yang kadang akan kau anggap terlalu dibuat-buat. Kau akan terbiasa.
Ya, itulah jalan yang harus kau tempuh untuk menjadi dewasa...

Aku paham.
Dan aku tak akan mendebat lagi.
Aku hanya harus teguh pada apa yang telah aku putuskan. Resiko itu pasti ada, kan?

O ya. Bapak lebih khawatir kalau kau melanggar satu hal... Paham, kan?

Aku mengangguk. Tersenyum.

Kalau memang sudah ingin, sampaikan saja. Tidak perlu main belakang, karena akibatnya akan sangat panjang dan menyangkut masa depanmu. Bapak tidak akan melarang. Tapi bapak berharap kau menyelesaikan S1 mu dulu...

Bapak...
:)

...

Dan malam ini kudendangkan sebuah lagu dari Letto...

Rasa kehilangan
hanya akan ada...
bila kau pernah
merasa memilikinya....

6 komentar: