“Aku cemburu…”
Bibirnya yang tak semerah delima bergetar ketika mengucapkan kata-kata sepi yang telah menghantuinya sejak lama. Sesak, mungkin tertahan dan mengendap sekian masa dalam rongga hatinya yang masih remaja, 18. Seperti angin yang dihembuskan dari lubang-lubang ventilasi jendela kamarku, aku harap dia bisa sedikit lega.
Matanya yang seperti lebam sesekali menerawang ke langit-langit kamar, seolah di sana didapatinya sosok sempurna yang telah mengikis kepercayaan dirinya sedikit demi sedikit, hingga kini hampir sirna. Bukan, sama sekali bukan. Mata yang seperti lebam itu bukan karena dia baru saja menangis, tapi itu adalah efek samping kacamata yang mengharuskan matanya terlihat bengkak. Aku paham betul, dia tak pernah bisa menangis lagi sejak hari itu. Hari dimana teman-teman menertawakan betapa cengengnya dia. Kini, dia lupa cara menangis.
“Dia memiliki segala yang jadi impianku. Segalanya.” Suara dari dalam hati. “Dia cantik. Seperti gadis pujaan lainnya. Matanya memancarkan keanggunan, hidungnya tak kurang mancung, dengan bibir bak buah ranum, wajahnya mungil, bertubuh tinggi langsing. Sedang aku?” Dia tersenyum dengan rona dipaksakan. “Satu-satunya yang dulu ku banggakan adalah bulu mata lentik ini, namun sekarang hilang ditelan keteledoranku.”
Aku hanya diam. Ku rasa dia belum membutuhkan komentarku.
“Lihat hidupnya, penuh dengan tawa. Baju-baju bagus, perhiasan-perhiasan unik, lagu-lagu bernas, hari-hari bebas, kata-kata menawan, tingkah laku anggun,” Terlihat gerak bibirnya makin bergetar. Hawa dalam kamar bisu ini mulai tampak biru.
“Teman-teman menyukainya. Lihatlah tiap kali dia bercerita di depan teman-teman. Semua mendengarkan dengan hikmad, seolah Cleopatra yang berbicara di hadapan rakyatnya.” Sungguh tidak berlebihan, karena aku juga mengenal sosok Bulan itu.
“Mimpiku menjadi seseorang yang berada di tingkat prestasi paling tinggi, dengan gemuruh tepuk tangan serta decak kagum semua insan, kugantung begitu cantik dalam ruang-ruang citaku. Namun nyatanya, yang berdiri di podium glamour dengan sorotan beribu pasang mata kagum itu adalah dia. Lagi-lagi dia.”
Aku ikut sesak, mencoba menarik nafas panjang.
“Aku cemburu. Kenapa Allah begitu menyayanginya. Allah lebih menyayangi dia daripada aku…”
Malam semakin dingin. Dendang rintik hujan bermesraan dengan rumput yang sejak tadi siang memendam rindu terdengar lebih mendayu. Lebih romantis. Kini tak ada kata-kata yang dia ucapkan lagi. Mungkin ini saatnya. Namun, aku lama terdiam, tidak tahu harus memberi tanggapan apa.
Sesaat hening.
Ku singkap tirai melo itu perlahan, serta ku putar lagu romantis tentang persahabatan. Untukmu Teman, Brother. Back sound yang sempurna. Kemudian ku beranikan diri. Ku ajak dia kembali membuka koleksi buku-bukunya. Mengambil sebuah buku bersampul merah hati.
“Allah Maha Penyayang…” ucapku pelan. “Ingatlah ketika dia menciptakanmu dari sari pati tanah yang hina kemudian lahir dalam bentuk yang paling indah. Kamu lahir dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati.” Rona wajahnya menatapku sendu. Aku tahu, dia ingin mengatakan, “Bukankah semua orang memilikinya?”
“Ya, semua orang memilikinya. Tapi hanya sebagian yang memahaminya. Lihatlah… Betapa sempurnanya dirimu, tanpa cacat apapun. Kamu diberi kesehatan, orang tua yang menyayangi dengan segenap jiwa, rizki yang lebih dari cukup, segala fasilitas yang memadai untuk berpretasi…”
Tak ada suara. Seolah aku bermonolog dalam percakapan nyata. Bernyanyi sendiri mendendangkan lagu Untukmu Teman yang selalu membuatku turut menikmati. Tapi lagi-lagi aku tahu ia ingin berkata, “Aku ingin menjadi spesial di mata orang lain. Seperti dia…”
Tak ku dengar rumput yang berbisik malu pada rintik hujan. Dan soal itu aku punya jawaban.
“Setiap orang…” lirih ku ucapkan. “Mempunyai caranya sendiri dalam menyikapi sesuatu. Tahukah kamu? Ketika mereka diam, sebenarnya mereka begitu simpati padamu… Ketika mereka acuh, mereka yakin kalau kamu bisa lebih baik daripada sekarang... Ketika mereka marah, mereka begitu peduli padamu… Ketika mereka tak mau menatapmu, sebenarnya mereka menyimpan kagum padamu... Ketika mereka tersenyum, hal yang terjadi adalah mereka sangat mencintaimu…”
Ada yang bergetar kurasakan seperti gemerisik instrument alam di balik dinding ini.
“Dan tentang Bulan, bisakah kamu berhenti untuk memandangnya sebagai rival?”
Nafasnya mengalir teratur, membungkus sedikit tanya pada apa yang telah kukatakan.
“Yang kamu cemburui adalah wajahnya… kenapa bukan akhlaknya? Yang kamu cemburui adalah hartanya… kenapa bukan kedermawanannya? Yang kamu cemburui adalah kenikmatan yang Allah berikan padanya… kenapa bukan manfaat yang dia berikan untuk orang lain? Yang kamu cemburui adalah prestasi dunianya saja…. kenapa bukan prestasi akhiratnya juga?”
Back sound Untukmu Teman mecapai reff klimaksnya. Berderak-derak. Angin malam yang nakal menyusup dari rongga-rongga ventilasi menghembus jilbabku pelan. Aku terdiam sejenak.
“Semua hasil berasal dari segala usaha. Jadi, masih pantaskah kamu marah pada Allah atau pada dia?”
Datar… ku coba membuka lembaran-lembaran nyata yang sempat terlupakan. Aku teringat sebuah kalimat indah… Belumlah beriman seseorang, hingga dia menyayangi saudaranya seperti dia menyayangi dirinya sendiri…
“Ingatlah… Dia dengan senang hati merelakan bahunya basah oleh air matamu ketika ayah memarahimu. Dia dengan begitu perhatian mendengarkan kisah-kisah romantis tentang laki-laki pujaanmu. Dia dengan segenap perhatiannya menanyakan kabarmu ketika kamu sakit. Dia yang selalu menjadikan kamu tempat pertama berbagi kebahagiaan saat peringkat I tertulis cantik di rapor kalian. Dia yang dengan senyum terindahnya mengakui bahwa kamu adalah sahabat terbaiknya… Sungguh, nikmat apalagi yang kamu ingkari…”
Rintik hujan masih terdengar puitis merayu rerumputan. Sayup terdengar indahnya…
Malam punya seribu kisah
Aku meratap dalam terangnya cahayamu dari kejauhan
Dalam inginku menjadi ragamu
Kuhianati…
Kuukir sebuah bayang basah yang engkau janjikan penuh pesona
Cinta dalam hatimu telah kuubah menjadi bait-bait kata yang tak pernah mampu kuucap
Dalam terangmu kukatakan
Aku mencintaimu…
Aku tertegun. Air mata itu meleleh begitu saja, mengalir melewati sisi hidungnya yang tak terlalu mancung, membuat kacamatanya berembun. Apa dia lupa janjinya sendiri untuk tidak menangis lagi? Ah, hati perempuan memang serapuh biskuit coklat.
Aku bahagia kini, mampu meyakinkan dia dalam kerapuhan itu. Seperti rintik hujan yang dengan riangnya telah memberi seribu kekuatan pada rumput-rumput yang sempat kelelahan mengarungi kemarau. Kini dia tersenyum, dan aku bahagia…
Tapi ada saatnya kelak, aku tak mampu memberi nasihat apa-apa padanya. Aku akan menghilang dalam hiruk-pikuk dunia, ditelan keangkuhan dan kesombongan, aku akan sirna seiring ia lupa pada hakekat penciptaanya. Karena aku adalah hatinya…
29 Desember 2009
Sesuatu yang tak mampu diucapkan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar