Hari itu aku sudah tua. Duduk di serambi sambil menyeruput teh hangat. Uapnya wangi meski tak senikmat dulu saat hidungku masih normal merasakan bebauan. Selalu saja tanganku gemetar. Aku merasa sangat lemah seolah tak mampu lagi menggenggam cangkir plastik teh hangat yang setiap pagi menemaniku bercakap pada mentari,
meski telah kugunakan kedua tangan. Kuletakkan cangkir itu perlahan, lalu kuangkat tanganku hingga dekat sekali dengan hidung. Kulihat puluhan bahkan ratusan parit-parit kerut di sana. Banyak bintik-bintik hitam dihiasi kuku yang pucat. Gerak tanganku tertatih, getaran halus mengikuti, tidak mau berhenti. Dan tiba-tiba tetesan bening itu kembali mencair, melewati sudut mata, jatuh, mengalir melalui sela-sela keriput wajahku.Jika sudah begini aku akan segera teringat ibu. Di pagi hari yang sama, saat mentari masih belia dan aku masih suka berlarian mengejar belalang atau kunang-kunang yang berterbangan, biasanya ibu mengepangkan rambutku sembari memeriksa apakah kutu-kutu masih betah bersarang di sela mahkota kepalaku. Sebelumnya dia akan mengolesi minyak urang-aring hingga rambutku mengkilap. Aku suka sekali baunya. Sepertinya dia menambahkan ramuan khusus hingga aroma yang wangi itu takkan hilang meski sore telah tiba.
Kemudian sambil menjalin tiap helai rambutku, dia akan berkisah tentang masa kanakku, tentang betapa merepotkannya aku dulu. Dia bilang aku tidak akan bisa tidur tanpa dipeluk olehnya. Aku tidak bisa ditinggal sedetik saja olehnya. Aku sering mengganggunya ketika masak hingga hidangan sarapan selalu terlambat disiapkan. Aku juga lebih suka disuapi dengan tahu bacem buatannya yang manis dan empuk, tidak mau dengan yang lain. Sesekali dia akan mencubit pipi atau pinggangku di sela kisahnya itu hingga aku terkekeh. Mungkin dia geregetan sendiri mengingat kelucuan-kelucuan yang terjadi ketika aku kecil.
Hmm... Aku ingat sekali hangat peluknya tiap kali dia selesai mengepangku. Aroma tubuhnya dan damai rangkulannya.
Dan aku tidak ingat mulai kapan aku membencinya.
Oh, mungkin sejak dia memaksaku memakai baju-baju kedodoran itu. Dia mulai cerewet sekali ketika melihatku pergi dengan baju berlengan sebahu. Atau dengan celana jeans abu-abu kesukaanku. Katanya, aku terlihat seperti punuk unta. Hehe. Ibu memang kolot dan ndeso. Dia tidak mengerti style. Yang dia tahu hanya kebaya dan kepang kuda. Jadi tiap kali seteru itu terjadi, aku hanya akan mengakhirinya dengan cibiran lalu menghilang di jalanan kota. Meninggalkan dia yang masih mengomel dan mengisahkan petuah-petuah zaman lama.
Mungkin karena dia tidak pernah mengizinkanku pulang malam. Sampai-sampai dia menerapkan jam malam yang harus selalu kupatuhi. Padahal aku tidak kemana-mana, aku hanya ke rumah teman. Hanya ngobrol tentang beberapa hal yang sewajarnya dibincangkan oleh remaja seumuranku. Bagiku, lebih baik sekalian menginap di rumah teman daripada pulang saat lewat jam yang ditentukannya dengan resiko tidak bisa tidur karena dia akan menceramahiku sepanjang malam.
Atau mungkin juga karena dia memaksaku menggunakan kerudung. Ya betul. Saat itu memang ibu jadi sering sekali belanja kerudung dan selalu merayuku agar mau menggunakannya. Sepertinya ibu tidak mengerti. Aku pakai kerudung? Astaga, hal aneh macam apa itu. Padahal berkali-kali ibu yang katakan sendiri aku punya rambut indah. Lalu kenapa harus ditutupi?
Yang kubenci kali ini adalah tiap dia membanding-bandingkan aku dengan Nisa, adik perempuanku. Dia selalu membanggakan betapa penurutnya Nisa. Nisa sudah berkerudung sejak SD. Nisa tidak pernah pergi keluar rumah kecuali sekolah dan belajar kelompok. Nisa tidak pernah bangun sesudah adzan subuh. Nisa tidak pernah berteriak di dalam rumah. Nisa ini, Nisa itu. Nisa begini, Nisa begitu. Ah ibu. Ibu tidak tahu betapa sedihnya aku tiap kali ibu berkata seperti itu. Ibu tidak tahu yang terjadi tiap kali aku menutup rapat pintu kamarku. Ibu takkan menemukan bantal yang basah oleh air mataku karena aku akan segera menjemurnya, hingga tidak ada bekas kecewaku pada ibu.
Puncaknya. Hari itu ibu memukulku. Dia marah melihat aku pulang bersama teman lelakiku. Perasaan marah dan maluku bercampur. Aku menangis sambil berkali-kali menanyakan kenapa ibu tidak menyayangiku. Apakah aku anak tirinya? Kenapa aku yang selalu disalahkan? Kenapa ibu tidak pernah menghargai pendapatku? Kenapa ibu tidak mengerti perasaanku? Mungkin lebih baik aku pergi. Biar ibu terbebas dari anak sepertiku yang selalu dia anggap buruk. Biar aku terbang bebas seperti kunang-kunang yang menerangi malam. Menjalani kehidupanku sendiri tanpa membebani siapa-siapa. Tanpa dibebani siapa-siapa.
Aku mengemasi barang-barangku tanpa memperdulikan suara tangis ibu dari kamar sebelah. Aku tak perlu bertanya apa-apa lagi. Senja yang kemerahan itupun bisu, tidak mampu memberiku alasan untuk tetap tinggal bersama ibu. Aku berlari ke pintu depan. Aku berpapasan dengan Nisa. Dia baru pulang kuliah tampaknya. Aku tercengang sesaat, menatapi kerudungnya yang menjulur hingga ke pinggang, melebar hingga tak menyisakan bentuk-bentuk yang seharusnya dibanggakan perempuan. Seperti istri –istri teroris yang sering kulihat di TV.
Nisa menatapku terkejut, bolak-balik mengamati wajahku yang sembab, dan tas ranselku yang membuncit disesaki baju-baju lusuh. Aku berlalu, meninggalkan Nisa yang masih kebingungan. Cahaya remang dari dalam rumah masih tampak dari kejauhan, menang melawan senja yang kian gelap.
Aku tidak ingat kehidupanku selanjutnya. Sepertinya aku amnesia. Atau mungkin karena kepikunan yang entah sejak kapan mulai jadi sahabat karibku. Atau memang karena ada banyak hal yang tidak ingin kuingat. Yang kuingat hanya ketika Nisa menemuiku –mungkin lebih tepat: menemukanku- di panti jompo. Dia menangis begitu kerasnya sambil memelukku. Dia bilang, ibu tidak pernah berhenti menanyakanku hingga hari terakhir ibu menghembuskan nafas. Ibu ingin sekali bertemu denganku sebelum ajal menjemput. Ibu berkali-kali berpesan padanya untuk mencariku. Ibu merindukanku. Nisa juga memarahiku karena tidak memberi kabar dan menanyakan kenapa aku pergi ke kota lain yang begitu jauh seperti ini.
Aku diam saat itu. Aku hanya bisa menangis tanpa suara.
Hari itu, kami telah sama-sama beruban. Bedanya, rambutku nampak kusut dan kusam, sedangkan rambutnya terlindung di balik kerudungnya. Keadaanku menyedihkan, sedangkan dia tampak lebih bersih dan sejahtera. Entah siapa laki-laki muda yang mengikutinya turun dari mobil hitam tadi. Dia menjelaskan, itu anaknya.
Aku kembali teringat ibu.
Saat ibu memasakkan tahu bacem untukku. Dia bilang ada bumbu rahasia yang ibu tambahkan di bacem lezat itu. Karena aku sudah besar dan sudah masuk SD, aku boleh tahu apa bumbu istimewanya. Kelak jika aku bisa membuat tahu bacem sendiri, ia berpesan jangan pernah lupa menambahkan bumbu itu. Karena masakan apapun takkan enak tanpanya. Kemudian dia membungkuk di depanku. Mendekatkan bibirnya ke telingaku. Sembari berbisik dengan suara lirih dia berkata...
“Bumbu itu adalah cinta...”
Malam ini gerimis.
Aku duduk di jendela depan. Membelakangi kursi dan cangkir teh yang tadi pagi menemaniku mengenang ibu.
Ruang tamu tampak ramai. Anak, cucu, dan semua keluarga Nisa berkumpul. Serta para tetangga. Mereka memanjatkan doa-doa, begitu terdengar syahdu di telingaku. Aku melihat wajahku yang pucat di sana. Diselimuti kain-kain putih yang cantik. Menutupi tubuhku yang tua.
“Nek, lihat! Ada kunang-kunang di jendela!” gadis kecil itu berteriak sambil menunjuk ke arahku. Nisa kemudian memeluknya.
“Biarkan saja. Biarkan dia terbang bebas menerangi malam...”
Aku terpejam, sempat meneteskan air mata, lalu terbang ke angkasa.
Dimuat dalam Progress edisi April 2011
Bismillah,
BalasHapussemakin sukaaa, ^_^