Tanpa
sengaja aku menatapnya tadi sore. Padahal (seperti biasa) keadaan sedang panik.
Aku berusaha mengendarakan motor pinjaman adik angkatan dengan lumayan ngebut,
melewati jalanan kampus yang boleh dibilang lumayan sepi sore itu, dikejar
janji untuk mengembalikan helm maksimal 30 menit kemudian. Biasanya dalam
keadaan begitu aku takkan peduli pada kondisi sekitar, bahkan menjadi hal wajar
jika tiba-tiba aku menabrak motor lain di depanku atau meloncat indah ketika
melewati polisi tidur. Tapi sore ini tidak. Seolah ada yang mengarahkan mataku
begitu saja, dan menatapnya tiba-tiba membuat semua keadaan begitu damai.
Merapi,
gunung itu terihat begitu jernih, seolah tak ada tabir apapun yang memisahkan
dia dan aku. Lekuk-lekuk bekas lukanya akhir 2010 lalu jelas terlihat. Abu-abu,
ya di puncaknya penuh abu yang abu-abu, berseling sebagian dengan batu-batu
yang nampak cadas. Sisi baratnya terang memantulkan sinar matahari sore yang
gemerlap, sebagian sisi timurnya tampak gelap membentuk kesan shadow yang sangat estetis, mengesankan.
Belum lagi awan-awan itu, kompak sekali menyeimuti kaki merapi seperti selimut
hangat yang begitu nyaman. Aku seolah melihat senyum sang Merapi, hari ini
miliknya.
Tatapan
itu tidak berlangsung lama, karena aku keburu membelokkan motor ke arah gang
Guru, Perempatan Karangmalang. Tapi tampaknya hari inipun jadi keberuntunganku
juga, sama seperti sang Merapi. Pukul 05.23, kukayuh sepedaku yang berdecit ke
arah Kuningan, kosku. Perut kenyang dan kebahagiaan penuh. Ya, bahagia sekali.
Karena setelah satu bulan ini (sepertinya lebih) aku sama sekali tidak
menikmati makanan favoritku di tempat keramat itu, setelah beribu kerinduan
yang menggantung di relung jiwa, akhirnya sore ini terbayar lunas. Bakso Pak
Narto di depan Wisma Olahraga UNY telah membentuk senyum simetris di wajahku.
Tidak tanggung-tanggung, 2 mangkok dan segelas es teh, hehe tentu saja 1
mangkok di bungkus untuk kumakan berjam-jam kemudian. Entah, karena kebahagian
bakso itu, atau karena kebahagian lain yang kudapat sejak sepertiga malam
sebelumnya, saat aku diberi kesempatan lagi untuk menatap sang Merapi, dia
terlihat lebih memukau, lebih menakjubkan. Jalanan Kuningan telah membentuk frame yang begitu indah bagi sang Merapi.
Sepanjang jalan yang tidak terlalu lebar itu, aku tersenyum dengan ringannya
tanpa memperdulikan orang-orang yang berlalu lalang (termasuk banyak orang yang
tengah menikmati nasi kucing Kuningan yang terkenal nikmat itu). Mungkin mereka
mengganggapku aneh, mungkin.
((Sedikit
selingan. Aku ingin menyampaikan bahwa aku tadi sendirian. Ya, makan bakso dan
pulang sendirian seperti kebiasaan lamaku. Hari ini aku ingin berusaha
menghilangkan keluhku tentang kesendirian dan kasih sayang. Aku ingin
menatapnya dengan lebih bahagia. Lebih dari cukup atas apa yang terjadi dua
hari kemaren, mengembalikan aura positif di sekitarku. Aku tidak peduli lagi
sedang beraktivitas dengan siapa, bahkan sendirian sekalipun, tak ada masalah.
Karena aku yakin, mereka (orang-orang yang kusayangi) selalu mengingatku dalam
tiap keadaan, seperti juga aku yang merindukan mereka di tiap tarikan napas
(huhu, mulai melankolis lagi).
Betapa
menakjubkan urusan orang-orang beriman. Segala perkaranya adalah kebaikan. Dan
itu tidak terjadi kecuali pada orang yang beriman. Jika mendapat nikmat
ia bersyukur, dan syukur itu baik baginya. Jika ditimpa musibah ia bersabar,
dan sabar itu baik baginya.
Indah
bukan?
Ketika
mereka ada di sampingku dan membentuk rona-rona indah di wajahku, aku akan
bersyukur. Sungguh mereka selalu memberikan yang terbaik. Dan ketika mereka
tidak ada, jauh dari tempatku berada, aku akan bersabar. Karena sungguh, mereka
pasti sedang melakukan kebaikan-kebaikan di luar sana. Mengerjakan kegiatan yang
tidak sia-sia. Aku akan berusaha melakukan hal yang sama, di sini, di tempatku
berdiri, meski dengan cara yang berbeda.
Sungguh.
Aku mau menjadi golongan mereka. Orang-orang yang beriman.))
Tiba di
kos, segera saja aku naik ke lantai 3. Di sana aku bisa mengamati merapi
semauku, sepuas hatiku. Ya, tempat itu tidak berdinding kecuali sebatas lutut,
hanya beratap dengan hiasan tali-temali tempat biasa kami menjemur baju-baju.
Di sana, tidak ada yang menghalangiku menatap hamparan kota, melihat Merapi, mengamati
langit…
Subhanallah…
Aku melihat keagungan tak terkira.
Senja
yang jernih dan terang. Lagi-lagi sang Merapi anggun di depan sana diselimuti
awan-awan, angkuh sekali (Ah, aku tidak bisa membedakan ‘angkuh’ dan
‘anggun’!). Hanya saja kali ini lebih kemilau. Mentari senja telah membuat
Merapi dan awan-awan itu gemerlap keemasan. Aku tidak punya kosa kata sepadan
untuk menggambarkan keindahannya. Aku menatapnya lama, di selingi obrolan
dengan dua orang temanku yang juga sedang menikmati sore. Banyak yang kami
bicarakan. Tentang keberuntungan berada di kos yang sangat nyaman, tentang
cinta dan cita saat membuatnya, tentang harga sewa kos yang tahun depan akan
naik, tentang lukisan yang harusnya kubuat setelah melihat pemandangan ini.
Satu yang agak menyayat… Adik kosku bilang, nantinya, jika semua gedung akan
setinggi menara UGM sana, takkan ada lagi yang dapat menatap hamparan kota,
melihat Merapi, mengamati langit, menghabiskan senja dengan menikmati angin
sepoi dari sini…
Pembicaraan
masih terus berlangsung, tapi tatapanku kosong ke depan menatap Merapi. Di sela
ketakjuban itu, melintas pesawat dari arah selatan. Meliuk begitu anggun,
berbelok. Sayapnya berada 30 derajat dari tempat seharusnya, miring. Kupikir
dia menuju utara, ke Kalimantan, ternyata dengan gerakan ekstrim (bagiku)
sekaligus indah tadi dia berganti arah menuju ke timur. Entah ke mana, mungkin
Bali, mungkin Papua. Ya Allah, yang membuatku terpana kemudian, pesawat tadi
telah mengarahkan pandanganku pada langit senja yang begitu luar biasa. Arah
jam 2 dari tempatku duduk. Disana langit dan awan memadu kasih dengan indahnya.
Warna-warna berpadu, menerjemahkan bahasa cahaya mentari dengan pembahasaannya
masing-masing. Ada biru di sana, ada putih, ada jingga, ada hijau, ada merah
muda, ada kuning, ada abu-abu, ada coklat muda, aku tertegun melihat salah
satunya: Awan itu ungu! Ungu muda! Lembut! Seperti gaun penganting yang jatuh
terurai ke hamparan biru langit! Anggun sekali!
Allah…
Aku menghela napas berkali-kali.
Langit
desaku di tengah pulau Sumatra sana selalu memukau, tapi langit kota ini
memberiku makna berbeda, keindahan berbeda, kisah berbeda. Hmm… Semoga Dia
memperkenankanku menikmati langit-langit di atas bumi-Nya yang lain. Entah
kapan…
Aku
menghela napas lagi.
Ingin
rasanya aku berlari ke kamar mengambil kanvas dan kuas, melukiskan keindahan
agung ini. Tapi tanganku tak kuasa. Aku lemah. Mana mampu kuterjemahkan
kerumitan warna-warna padu ini dengan bahasa rupaku yang masih kacau, masih
kemampuan manusia. Ah, aku bukan malaikat, apalagi Tuhan yang Maha Mencipta.
Otakku
kembali berputar, tidak ingin kehilangan dokumentasi momen ini. Tapi apa daya,
flipku ngedrop, HP kameraku tidak bernyawa, teman-teman koskupun sedang tidak
membawa benda-benda itu, dan sahabat-sahabatku yang kuajak sms-an sejak pulang
dari warung bakso pak Narto tadipun mengirim kabar buruk. “Kameraku di bawa
mbak…”
Hmmmm…
Aku menghela napas sekai lagi. Mungkin senja ini memang tidak untuk di simpan
dalam rupa gambar, karena hasilnya takkan sama, kemampuan kamera yang hanya
beberapa megapiksel takkan mampu menyimpan detil nuansa sunset ini. Mungkin memang senja ini hanya
disiapkan untuk direkam oleh mata, disimpan dalam memori otak, dan
diterjemahkan dalam rasa yang membuncah, kebahagiaan yang akan muncul kapan
saja ketika aku mengingatnya.
Subhanallah…
Kepada
teman-temanku yang sedang beraktivitas penuh di luar sana, yang sedang
berikhtiar sepenuh hati di jalan juang sana, (maaf tidak ikut agenda malam
ini), cobalah luangkan waktumu sejenak saja. Menatap langit. Rasakan betapa
memukaunya, biarkan dirimu terlena, hingga tanpa sadar kau akan tersenyum
sendiri. Aku yakin, kekuatan itu akan memenuhi rongga dadamu, hingga kau bisa
melanjutkan harimu lagi dengan semangat yang sekian kali lebih dahsyat!
Teman-temanku,
aku mencintai kalian karena-Nya…
Dan
mengenai judul ini. Hehe. Aku juga tidak mengerti.
“Jangan
fitnah Merapi” hanya kukopi dari status Facebook seorang teman. Teman kos yang tadi
bersamaku memandang sang Merapi. Entah, aku tidak mengerti apa maksudnya, dia
juga tidak bercerita. Biarlah, biar menjadi rahasianya, juga bukan sifatku
terlalu bertanya banyak ingin tahu. Nanti juga kalau dia mau, dia akan
bercerita. Biarlah kali ini kuartikan menurut hatiku sendiri.
Merapi
di sana mungkin terlihat angkuh (anggun?), mungkin menatapnya membuat jiwa-jiwa
kebanyakan orang membiru, miris, gerimis. Gunung itu pernah meninggalkan kisah
duka. Duka yang teramat rumit untuk diuraikan. Duka yang tak habis di sapu
waktu barang setahun dua tahun.
Tapi,
tahukah? Dia hanya menjalankan tugasnya. Menyampaikan ayat-ayat pencipta-Nya.
Entah ayat-ayat itu akan dimaknai apa. Mungkin akan dimaknai sebagai teguran,
akan dimaknai sebagai azab, atau sebagai sarana bercermin diri, sarana
perbaikan, menyadari akan tumbuh ladang-ladang subur setelahnya, mata air
bening mengalir di bawahnya. Akan ada banyak pemaknaan. Terserah hendak
dimaknai apa. Nyatanya, ini hanya untaian tasbih.Tasbih cinta makhluk pada
Tuhannya.
Sungguh,
jangan fitnah merapi.
Maem Bakso ra ngejak2 jan..
BalasHapus------------------------------
gunung2, phon, laut, bumi, semua berdzikir kepada Allah...
,, akh Ramadhan (eks Masul UKKI) mampir..
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus