Selama ini aku menganggap kasih sayang adalah apa-apa yang mereka berikan padaku, berupa benda atau sekedar sapaan hangat kala bertemu. Iyakah?
Entah sejak kapan aku mulai meragukannya. Dan (entah sejak kapan pula) aku lebih suka memasung ragaku dalam kamar kos yang tak lebih dari 10 meter persegi, dengan aroma lembab pakaian yang asal kugantungkan di balik pintu. Aku menikmati kesendirian, tanpa memperdulikan teman-teman di luar sana yang sedang ribut membicarakan iklan televisi yang makin lama makin tidak masuk akal.
Ya, aku sendirian saja.Aku melamun seharian, manghabiskan waktu yang seharusnya bisa kugunakan untuk menyelesaikan tugas patung atau lukisku yang masih utang banyak, sudah 6 minggu aku tidak mengumpulkan tugas, atau membereskan pekerjaan-pekerjaan yang harus segera kulaporkan pada bos-bosku (yang lebih suka kusebut 'Para Pengejar Deathline'). Aku lebih memilih diam. Hmm... Di saat seperti inilah aku sering meragukan makna kasih sayang.
Kemaren, tepatnya 2 hari yang lalu, aku bercerita pada seorang teman tentang kasih sayang ayah. Tentang keberuntungan bagi orang-orang yang bisa lekat tiap waktu dengan ayahnya, mereka yang ada saat ayahnya sakit atau sekedar minta urut sehabis pulang kerja. Atau mereka yang suka berlama-lama menelpon ibu dengan nada manja sesekali diselingi tawa lirih atau rajukan nakal. Aku menghela napas. Ya, kedekatan itu ada karena tidak ada jarak, kan? Kasih sayang itu dapat diterjemahkan secara gamblang jika raganya ada di hadapan mata atau sekedar dekat suaranya, kan?
Sahabatku itu kemudian menjawab "Syukurilah karena sosoknya, bukan karena keberadaannya"
Ah, entahlah. Jawaban itu seharusnya menjadi embun segar yang mengobati segala pertanyaan dalam benakku, tapi nyatanya tidak. Tidak, bukan karena aku tidak pernah merasakan hal-hal macam itu dalam hidupku (lekat dengan orang tua atau menelpon lama). Tapi hari itu jiwaku benar-benar kering. Ada kehampaan yang suit kugambarkan.
"Aku hanya rindu, itu saja." jawabku tanpa nada sedikitpun mendukung jawabannya tadi.
Di lain sisi, aku tidak suka pada perkembangan yang terjadi pada mereka, orang-orang terdekatku. Aku tidak suka pada si A yang mulai mengurangi intensitas bercanda. Aku tidak suka pada si B yang mengaturku untuk masuk ke dunia yang tidak kusukai. Aku tidak suka pada si C yang mulai tak punya waktu berbagi atau sekedar makan mi ayam bersama lagi dengan alasan kepentingan umat. Aku tidak suka pada si D yang selalu memakai kata-kata berat saat berbincang padaku, politik. Aku tidak suka pada si E yang mulai banyak fans dan semua orang membicarakan dirinya. Aku tidak suka pada si F yang pelit sekali soal uang, katanya hemat. Aku tidak suka pada si G yang suka mencampuri perkara yang kutangani. Aku tidak suka pada si H yang suka bersikap manis padahal aku tidak suka nada bicara yang seperti itu. Aku tidak suka pada si I sering menuntut dan membuatku frustasi karena banyak tugas yang tidak mampu kukerjakan, tanpa memberi solusi. ... Aku tidak suka pada si Z yang sulit sekali diajak berdiskusi soal job dengan alasan ada amanah lain.
Padahal, mereka teman-temanku! Dan mereka adalah orang-orang yang (kupikir) aku sayangi!
Lalu kemaren sore, ada rasa yang sangat aneh dalam hatiku. Bercampur tanpa bentuk seperti semangkuk es krim stroberi yang diaduk kasar bersama dua gelas kuah semur ayam plus dua sendok makan merica dan kopi bubuk.
Pahit, hanya itu yang bisa kurasakan pada akhirnya.
Aku juga cuma tersenyum getir esok paginya, mengingat alasan yang membuatku 'galau' dan mimpi buruk semalaman. Hanya sebuat sms:"Tadi abis seru-seruan bareng ... (menyebutkan beberapa nama). Kamu darimana?"
Ah, aku tersenyum kecut lagi. Aneh memang, tak beralasan mungkin. Tapi yang ada dalam hatiku dan dalam otakku pasca membaca sms itu adalah satu kata, hanya satu kata: cemburu. Aku tidak bisa menerima ada kisah seru -bahagia- yang kulewati begitu saja. Ada hal menarik yang terjadi tanpa aku berada di sana. Mereka, orang-orang yang kupikir aku menyayangi mereka secara sama-, bisa bahagia tanpa mengajakku di dalamnya. Tanpa berbagi denganku. Tanpa melibatkan aku. Aku sangat cemburu.
Tapi, pantaskah aku cemburu?
Aku yakin, ada yang salah dengan semua ini. Mana mungkin kasih sayang yang selama ini begitu sempurna tidak membawa kebahagiaan sedikitpun di hatiku, bahkan hanya menyisakan kecemburuan? Mana mungkin persaudaraan indah yang dijanjikan kekal hingga ke surga ini malah menjadi neraka sejak di dunia?
Ada yang salah! Pasti!
Hingga kini, aku belum menemukan jawabannya, hingga aku mulai membosan, hingga aku mulai membenci apa-apa yang aku sukai.
Seharusnya tidak begitu, kan?
Bukan begitu.
Mungkin (jawaban sementaraku), ini karena aku yang terlalu banyak meminta dan ketika aku tidak mendapatkannya, aku akan berprasangka.
Mungkin saja...
Aku sedang menata hati, lagi..
(Yakinlah, bahwa ini bukan tentang kau. Ini hanya tentang aku, dan aku harap kau bisa mengambil sesuatu dari kisahku ini...)
terima kasih mbak wulan atas kisahnya yang sebiru langit.. mohon maaf saya belum bisa berbagi solusi atas apa yang mbak wulan hadapi.. saya hanya bisa mendo'akan, semoga mbak wulan selalu dalam lindungan Allah subhanahu wata'ala, aamiin..
BalasHapusterima kasih sudah ikut membaca.
BalasHapus