Sempat
merenung juga ketika membaca status facebook seorang teman yang mempertanyakan
hal itu.
Kenapa begitu parno dengan simbol-simbol?
Mata satu, salib, bintang terbalik de
el-el.
Hidup kok ribet amat!!
Ya
ya, kalau mau alasan yang kaku sih saya punya satu ini.
Menurut
Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya Islam Bicara Seni bagian ‘Menggambar Objek
yang menjadi simbol agama lain, beliau menulis penjelasan seperti ini:
Masih berdekatan dengan masalah ini
adalah menggambar benda-benda yang dianggap sebagai simbol agama tertentu
selain Islam. Contoh yang paling mudah, misalnya menggambar salib yang
merupakan simbol agama Nasrani. Segala macam bentuk gambar yang mengandung unsur
salib, jelas haram hukumnya, tanpa ragu lagi. Setiap muslim harus
menyingkirkannya.
Dalam masalah ini, Imam Bukhari
meriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa ia berkata,
“Nabi Saw. tidak pernah membiarkan di
rumahnya sesuatu yang padanya ada salib, kecuali beliau memusnahkannya.”
Begitulah.
Hukumnya jelas: haram.
Pernah
di satu pertemuan tutorial saya menganalogikan simbol-simbol ini sebagai merk
makanan. Sebut saja nasi kucing di pojokan Bantul dengan merk Me∞ng. (Maaf
kepada warga Bantul… Cuma contoh kok ^^v)
Saya
sama sekali tidak suka dengan Me∞ng. Nasinya pahit dan sering kali saya dapati
belum matang, masih berasa beras utuh. Belum lagi lauknya yang sedikit sekali
tidak sebanding dengan harganya yang mahal. Parahnya, saya pernah mendapati si Me∞ng
sudah basi tapi masih dijual! Dengan segala alasan itu, saya berhak untuk
mengatakan bahwa Me∞ng sangat tidak layak untuk dikonsumsi.
Tapi,
jika suatu saat saya membuat karya, poster misalnya, saya tidak sengaja
menggambar simbol Me∞ng di poster saya itu. Kemudian poster itu disebar ke
seluruh penjuru Jogja dan menjadi terkenal. Duh! Pasti saya akan getun sekali.
Pertama,
saya dianggap menyukai nasi kucing Me∞ng itu, padahal jelas-jelas saya tidak
suka.
Kedua,
poster saya jadi media iklan Me∞ng gratis! Wah, enak banget si Me∞ng itu. Dapat
media iklan gratis yang berasal dari orang yang sebenarnya tidak suka. Parah!
Ketiga,
saya menjerumuskan banyak orang lain karena turut andil mensugesti mereka untuk
ikut mencicipi si Me∞ng yang tidak enak itu.
Keempat…
Kelima…
Ah,
banyak sekali yang akan membuat saya merasa getun
telah menggambar si Me∞ng di poster saya. Itu saja saya tidak sengaja. Lah gimana kalau saya sengaja? Saya
sangat tidak suka dengan Me∞ng tapi malah saya dengan sengaja
menggambarnya di poster kemudian menyebarkannya! Duh gusti… saya belum segila
itu kok!
Saya
paham betul dengan apa yang saya gambar. Saya selalu berusaha untuk memahami
apa yang saya gambar sebelum membuatnya. Saya berusaha untuk paham, bukan
semata-mata karena itu bagus atau
hanya ikut-ikutan tanpa tahu maknanya.
Tapi
memang begitulah. Kebanyakan dari kita tidak paham, sekedar ikut-ikutan. Kalau
dinilai itu ‘cool’, ‘keren’ dan sebagainya, lantas kita latah untuk ikut
membuatnya tanpa tahu makna yang ada dibaliknya.
Padahal,
bukankah kita sepakat bahwa manusia adalah makhluk simbolik, manusia adalah
pencipta dan pemakai simbol. Pemikiran simbolis dan tingkah laku simbolis
merupakan ciri yang betul-betul khas manusiawi dan bahwa seluruh kemajuan
budaya manusia mendasarkan diri pada kondisi-kondisi itu. (Ernst Cassirer 1987:
4)
Manusia
menciptakan simbol untuk menyampaikan maksud hatinya, dalam banyak hal.
Kalau
di Wikipedia sih dijelaskan kalau;
Simbol adalah gambar, bentuk, atau benda yang mewakili suatu
gagasan, benda, ataupun jumlah sesuatu. Meskipun simbol bukanlah nilai itu
sendiri, namun simbol sangatlah dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan
nilai-nilai yang diwakilinya. Simbol dapat digunakan untuk keperluan apa saja.
Semisal ilmu pengetahuan, kehidupan sosial, juga keagamaan. Bentuk simbol tak hanya berupa benda kasat mata, namun juga
melalui gerakan dan ucapan. Simbol juga dijadikan sebagai salah satu
infrastruktur bahasa, yang dikenal dengan bahasa simbol.
(Lengkapnya bisa di baca di http://id.wikipedia.org/wiki/Simbol)
Intinya,
simbol yang dibuat dan (sadar atau tidak sadar) disepakati manusia itu ada
banyak sekali dan semua simbol itu ada maknanya. Inilah yang seharusnya kita
cari tahu sebelum kita bersepakat untuk turut menggunakannya atau tidak.
Saya
teringat sebuah novel perjalanan yang pertama kali cetak di Juli 2011, 99 Cahaya di Langit Eropa. Ditulis oleh
pasangan suami istri, Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Saya sangat
tertarik dengan kisah perjalanan Hanum di halaman 153 sampai halaman 172,
tentang Kufic. Pernah dengar?
“Sepertinya itu tulisan Kufic. Seni
kaligrafi Arab kuno. Tak terbaca dengan pengetahuan biasa. Sekilas hanya
seperti coretan Arab yang tak ada artinya. Tapi ini sebuah misi dakwah yang
luar biasa. Para khalifah Islam senang mengirim cendera mata dengan pesan
puitis dengan dekorasi Kufic seperti ini kepada raja-raja Eropa yang kebanyakan
menganut Katolik Roma.” Penjelasan Marion kepada Hanum ketika
mereka melihat sebuah piring peninggalan peradaban Islam di Museum Louvre. Marion adalah warga Asli Perancis yang menjadi
mualaf.
Piring
itu dihiasi huruf hijaiyah yang sedemikian rupa sehingga terlihat seperti
sekedar ornamen biasa. Tapi kaligrafi itu bisa dibaca: Al-‘ilmu murrun syadidun fil bidayah, wa ahla minal ‘asali fin-nihayah.
Artinya: Ilmu pengetahuan itu pahit
pada awalnya, tetapi manis melebihi madu pada akhirnya.
Kufic
itu melingkar indah di pinggiran piring, sedangkan di tengahnya terdapat symbol
yang sudah tidak asing, hitam dan putih yang saling ‘memeluk’. Yap, Ying dan
Yang. Simbol keseimbangan yang jika dikaitkan dengan kaligrafi Kufic tadi melambangkan
perlunya keseimbangan antara agama dan ilmu.
Di
sini saya sudah bertanya-tanya, bukankah Ying dan Yang itu bukan berasal dari
kebudayaan Islam? Dari Cina, kan ya? Aneh. Kenapa orang Islam sendiri menggunakan simbol itu?
Tidakkah haram? Tidakkah bathil?
Ah,
tapi saya bukan ingin mempersoalkan tentang symbol Yin dan Yang itu dulu
(mungkin kapan-kapan, InsyaAllah).
Kembali
ke Kufic.
Begitulah,
piring dengan Kufic itu dijadikan sebagai media pembawa pesan dakwah dengan simbol
yang lebih diterima karena menyentuh rasa keindahan, estetika.
Marion
mengajak Hanum melihat karya lain yang terdapat Kufic di dalamnya. Tapi kali
ini bukan di peninggalan peradaban Islam.
Vierge a I’Enfant-The Virgin and the
Child: Ugolino di Nerio 1315-1320
Lukisan
Bunda Maria dan bayi Yesus, yang jelas dilukis oleh nonmuslim. Marion meminta
Hanum untuk mengamati lukisan itu dengan teliti. Lebih tepatnya di bagian
hijab/jilbab. Eh, tapi ini bukan soal Bunda Maria yang selalu digambarkan
menggunakan hijab, (Walaupun saya sepakat kalau bunda Maria saja menggunakan
jilbab, bagaimana mungkin ada yang mengimani beliau tapi malah melarang
menggunakan jilbab, hehe), tapi ini tentang pola hias yang terdapat di hijab
Bunda Maria. Sulit terbaca, tapi Marion sangat yakin bahwa itu adalah tulisan
Arab. Dan itu adalah ‘Laa Ilaa ha
Illallah’
Ya.
Hijab Bunda Maria itu bertuliskan kalimat Tauhid, ‘Laa Ilaa ha Illallah’…
Mana
mungkin seorang nonmuslim menuliskan kalimat Tauhid di karyanya. Apa dia sudah
gila?
Marion
menjelaskan itu bukan Kufic, tapi Pseudo Kufic. Pseido Kufic adalah
coretan-coretan imitasi tulisan Arab, dengan kata lain: tulisan Arab yang
dibuat oleh orang yang sebenarnya tidak tahu atau tidak paham tulisan Arab. Ini
ditemukan di banyak karya lukisan, patung bahkan di mantel raja Eropa yang
digunakan pada hari pengangkatannya sebagai raja.
“Menilik latar belakang para pelukis
yang sebagian besar nonmuslim, tidak mungkin mereka membuat pesan rahasia di
lukisan Bunda Maria… Kecuali satu hal…”
Kecuali?
“Kecuali… dia tidak sengaja,” ucap
Marion pendek.
Tidak
sengaja?
“Ya tidak sengaja. Mereka tidak
mengetahui arti tulisan yang mereka coret.”
Hanum
di halaman 169 bahkan memperjelas perasaan anehnya dengan menulis:
Tidak sengaja? Bagaimana mungkin seorang
pelukis tak tahu apa yang dia lukis?
Tapi,
ya begitulah. Mereka tidak tahu. Tidak paham.
Awal
abad ke-12 peradaban Islam sangat maju. Hasil tenun, tekstil, dan kerajinan
tangan orang-orang muslim yang begitu berkualitas dan dengan corak warna
bermacam-macam menyebar hingga ke Eropa. Semua hasil industri yang beraneka
ragam itu tidak lepas dari pahatan atau bordir bertuliskan kalimat tauhid. Dan
begitulah, hasil seni rupa muslim menjadi trend
di Eropa. Mereka menggunakan barang-barang karya orang muslim dalam kehidupan
sehari-hari.
“Mungkin pelukis zaman Kegelapan Eropa
melukis sosok Bunda Maria dengan model yang memakai kain berlafal Tauhid? Dan
dia tak sengaja melukisnya?” tanya Hanum untuk
meyakinkan dirinya sendiri.
Begitulah.
Para pelukis realis itu melukis berdasarkan apa yang mereka lihat. Mereka
melukiskan lafal Al-Qur’an yang sebenarnya tidak mereka pahami. Itu juga
sebabnya tulisan itu sulit terbaca, tulisannya tidak sempurna. Ya karena ditulis
oleh orang yang tidak paham maksudnya.
Begitulah.
Percakapan
Marion dan Hanum yang begitu mencengangkan.
Dan
saya mencoba untuk menyamakan situasi itu dengan kondisi sekarang.
Keadaan
mode Islam saat itu samalah dengan Korean style saat ini. Dimana-mana berbau
Korea. Cara menyanyi, mode pakaian, chibi-chibi… (haha). Dan tanpa sadar orang
Indonesia menirunya (tapi mungkin juga sadar), menjadikannya gaya hidup
sehari-hari. Bisa jadi, suatu ketika ada seorang muslim yang begitu
tergila-gila dengan Korea kemudian menggunakan baju yang bertuliskan huruf
cantik Korea, dan sama sekali tidak tahu kalau tulisan itu memiliki arti “Tuhan
itu tidak ada!”
Wow…
Wow… Naudzubillah…
Sekarang…
Saya mencoba hening sejenak. Berpikir.
Ya, manut sih. Siapapun berhak menentukan
pilihan, menggunakan atau tidak menggunakan sebuah simbol, sepanjang dia tahu
maknanya.
Silakan
jika teman-teman mau menggunakan symbol mata satu atau bintang terbalik atau
apapun itu, jika setelah mencari tahu maknanya teman-teman merasa yakin akan apa
yang teman-teman putuskan. Tapi… KALO GUE
SIH: OGAH!! ^^
Dan
kita tentu tidak melupakan satu hadist ini kan:
”Barangsiapa
menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari mereka.” (HR. Abu Daud)
J
Wallahu’alam…
Sumber:
Qardhawi,
Yusuf. 2004. Islam Bicara Seni. Solo.
Era Intermedia
Rais,
Hanum Salsabiela dan Rangga Almahendra. 2012. 99 Cahaya di Langit Eropa. Jakarta. Gramedia
Saeful,
Ahmad. Skripsi: Ideologi di Balik
Pemaknaan Poci Tegal kontemporer. Yogjakarta. UNY
http://id.wikipedia.org/wiki/Simbol
http://fimadani.com/hukum-mengenakan-simbol-atau-syiar-agama-lain/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar