Senja

Minggu, 07 Desember 2014

Inilah Tarbiyah

“Sungguh, kita masih bertahan di jalan dakwah ini adalah semata kasih sayang Allah.”


Kalimat pembukanya pagi ini lagi-lagi berhasil menarik seluruh fokus pikiranku. Seorang ibu yang nampak biasa, wajah teduhnya yang biasa, bahasa tubuhnya yang bisa dibilang tidak se-keren trainer-trainer berlabel ratusan hingga jutaan rupiah. Dia seseorang yang biasa saja. Hanya seorang murabbi yang di setiap kata-katanya mampu mencipta hujan bahkan gemuruh di hati, hanya seorang murabbi yang dengan kesederhanaannya mampu menampar hati yang telah lama hibernasi, hanya seorang murabbi yang…


***

Hmm….

Inilah Islam. Yang jauh sebelum terlahir di dunia telah kupegang sebagai agama. Lalu beruntung dibesarkan oleh keluarga yang menerimanya –meski bukan zona gerakan-, Alhamdulillah mendewasa di bumi Allah bernama Indonesia, yang ia di sini dapat tumbuh subur dan dipeluk mayoritas penduduk –meski bukan zona paling produktif.

Sampai  kini aku masih menggenggamnya, menggigitnya dengan geraham. Aku bertahan bukan karena yang lain tidak menarik, tapi karena yang menarik-menarik itu tidak lebih benar dari yang aku genggam saat ini. Maka jika ada yang bertanya: “jika kamu dilahirkan dari rahim seorang yahudi, apakah kau akan sekeras kepala ini terhadap Islam?”, aku akan menjawab: “Allah lebih tahu atas takdirku. Bukanlah seorang bayi dilahirkan dalam agama yang lain, kecuali bapak ibunya yang menjadikannya begitu. Semua bayi punya Dia Yang Satu. Dan karena pertanyaanmu tidak pernah terjadi padaku, maka aku akan menjaga agar anak dan seluruh keturunanku tidak pernah mengalami itu…”

Tapi ‘menjaga’ adalah pekerjaan berat. Menjaga seorang anak agar tetap berislam hingga akhir hayat adalah lebih sulit daripada menjaganya sepanjang di dalam kandungan, dan tentu jauh lebih sulit lagi daripada menjaga kesucian cinta yang dewasa ini sering dijadikan bahan mainan. Menjaga aqidah adalah kesulitan yang begitu sulit, tiada daya upaya selain atas kehendak-Nya. Karena itu, ikhtiar terbaiknya adalah mentarbiyah diri, sempanjang hayat, hingga mati. Mentarbiyah diri berarti mendidik agar hati pikiran perbuatan senantiasa berjalan seiring dengan iman, seiring dengan kenyataan bahwa setiap bayi terlahir suci.

Pun masih banyak yang tergelincir… Entah karena ego, entah karena prinsip, entah karena ketidakpercayaan, entah karena keraguan, entah karena perdebatan masalah cabang, entah karena keputus-asaan menanti kemenangan, atau hanya karena ketidak-tahuan. Mereka merasa banyak tahu atas Islam dan tarbiyah, padahal mereka tidak tahu, lalu mereka membenci.

Begitulah, mereka yang hanya mampu menilai dari kulit luar, mengadili hanya dari yang kasat mata. Mereka membenci hiruk pikuk politik, lalu mereka membencinya secara keseluruhan. Mencacinya. Tapi… Aku maklum. Begitulah aku beberapa tahun lalu.

…karena seseorang akan menjadi musuh terhadap apa yang tidak diketahuinya…”

Ungkapan Yahya bin Khalid itu sudah cukup menjelaskan semuanya. Maka, maafkanlah atas kebencian seseorang terhadapmu dan terhadap pilihan jalanmu. Sungguh bukan karena mereka ingin menjadi musuh, tapi hanya karena mereka tidak tahu. Jikapun butuh waktu yang panjang untuk mereka memahami betapa manisnya persaudaraan yang saling menasehati dan mewasiati, betapa manisnya persaudaraan yang tidak pernah melepas genggaman hingga di pintu firdaus, betapa manisnya hidup dalam bingkai qiyamul lail, alma’surat, beberapa juz tilawah, puasa sunah, sodaqoh, dhuha, hingga naungan malaikat dalam majelis… kamu hanya perlu bertahan. Tidak perduli sepanjang apa waktu yang kamu butuhkan untuk meyakinkan mereka. Kamu hanya perlu bertahan.

Dan aku bertahan.

Aku bertahan bukan karena amanah yang mampu meningkatkan popularitas, sungguh picik dengan alasan itu. Aku bertahan karena sudah terlalu banyak yang Allah tunjukkan padaku. Terlalu banyak, hingga tidak ada lagi alasan untuk pergi menjauh.

Ditunjukkan pertama kali saat SMA. Musi Rawas, kabupaten kecil di ujung utara provinsi Sumatera Selatan. Tarbiyah telah mengalir halus di aliran darahku. Bertemu seorang murabbi yang murah senyum dan teman-teman yang sama-sama bertahan selama tiga tahun. Aku pernah menyampaikan pada mereka, satu pekan saja yang terlewat adalah kemarau.

Lalu Yogyakarta adalah rimba raya yang begitu ganas. Aku sempat terlepas. Siapa yang akan tahan dengan ribuan kepedihan yang mencaci? Siapa yang tahan pada kelelahan tak berujung dan tanpa puji? Siapa yang tahan dengan paksaan bertahan di dunia yang sama sekali tidak disukai? Siapa yang akan tahan jika demi Dia engkau harus melepas, membunuh, merelakan cintamu? Tidak akan ada yang mampu bertahan… kecuali atas kasih sayang Allah. Allah memelukmu lewat persaudaraan itu. Allah memelukmu lewat sang Murabbi. Allah memelukmu lewat mereka.

Di sana pula Allah memberi kesempatan mencicipi bumi santri. Hanya mencicipi, sedikit saja dari jumlah tahun kehidupan yang aku miliki. Satu tahun yang bagiku sungguh luar biasa, satu tahun paling berat sekaligus paling membuatku mencintai ilmu dalam ikhtiar mentarbiyah diri, meski bagi ummi aku adalah golongan santri paling kiri. Ah, ummi.

Empat murabbi, dengan karakter yang berbeda. Yogyakarta adalah rumah kedua, yang hingga malam diputuskan akan pergi, sesak dan tangis itu tak kunjung reda…

Tidak berhenti di situ. Allah menunjukkan bukti lain.

Di Thailand, aku diperlihatkan pada minoritas yang sama-sama memperjuangkan takdir si Bayi Suci. Di musola kecil yang lebih layak disebut gudang, aku berkenalan dengan mahasiswa muslim yang dengan tsiqoh dan tulus mengenakan hijab dan berjanggut tipis. Di warung roti kecil yang begitu romantis, aku berkenalan dengan warga keturunan Turki yang dengan kerinduan mendalam ingin kembali ke negeri mereka yang harmonis. Mereka bak mutiara kecil di antara para penduduk mayoritas.  Memberiku kesadaran, bahwa hidup di Indonesia dengan segala kemelut yang dihadapinya adalah karunia besar. Islam mayoritas, meski tak sedikit yang abangan. Bayi-bayi suci yang ditakdirkan Allah terlahir di Indonesia adalah bukan tanpa alasan. Allah pasti mengutusnya untuk sebuah alasan: perjuangan.

Di Malaysia, kebalikan dari Thailand, pun Indonesia. Islam adalah tunggal bermahzab Syafii, tidak ada perdebatan dan tidak ada pertentangan. Syariat Islam adalah kesadaran tiap individu muslim tanpa paksaan. Jika ada yang melanggar (tidak mengenakan jilbab, misalnya) secara moral mereka akan otomatis terasing. Dan luar biasanya, dengan menghormati toleransi tanpa perlu memperdebatkan perkara pluralitas, mereka bisa hidup begitu harmonis dengan etnis China dan India dengan keberagaman agamanya. Betapa indahnya. Tidak perlu cemburu, karena aku masih begitu yakin, bayi-bayi suci yang ditakdirkan Allah terlahir di Indonesia adalah bukan tanpa alasan. Allah pasti mengutusnya untuk sebuah alasan: perjuangan.

Di Malaysia aku sempat mencicipi lingkar pekan bersama para mahasiswa pascasarjana. Sang Murabbi beserta mutarabbinya berhasil mencipta kesan mendalam, bahwa tarbiyah tidak melulu membahas perkara tradisional. Tapi di sana aku tersadar bahwa Islam telah beranjak pada masa yang penuh teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan tak terbendung. Maka mentarbiyah diri semakin meluas pada poin ketiga: menguasai bidang keilmuan tertentu yang membawa manfaat bagi umat.

Tarbiyah… aku menemukanmu dimanapun.

Kali ini tentang kakak perempuanku. Jujur, beliau sempat vakum dalam waktu yang lama dalam mentarbiyah diri. Jalan hidupnya adalah tauladan bagiku. Jatuh bangunnya dalam menggapai ilmu telah mengantarkannya ke bumi paling timur Indonesia. Papua. Aku selalu berpikiran buruk tentang pulau itu, terlebih perasaan khawatir melepasnya hidup sendiri di negeri yang begitu liar. Hingga akhirnya anggapanku itu pupus hancur melebur ketika beliau bercerita tentang awal hidupnya di Papua. Baru beberapa pekan, beliau memintaku membelikan beberapa buku tarbiyah keislaman. Untuk apa? Beliau hanya menjawab bahwa beliau sudah diminta menjadi murabbi dan mengampu beberapa kelompok halaqoh. MasyaAllah. Allah telah mengutus manusia-manusia lain ke buminya yang satu itu. Semoga karunia Allah selalu merahmati tanah Papua. Dan begitu juga kakakku, Allah telah memberinya pelindung, suami yang insyaAllah akan menjaganya dan anak keturunannya agar tetap berada dalam takdir kesucian.

Dan kini aku di Pare, kampung kecil yang begitu terkenal dengan Bahasa Inggrisnya. Tidak sulit sebenarnya mencari kelompok baru. Tinggal perkara niat. Banyak yang hanyut terbawa arus dan tidak pernah kembali pada tarbiyah keislaman, di sini, kampung kecil yang hiruk pikuk dengan segala godaannya. Sebabnya sepele, sebagian besar menganggap Pare hanya tempat singgah sebulan dua bulan, ‘libur dulu gak papa’. Tapi berdampak pada sikap terlena dan enggan, akhirnya sama sekali berhenti. Malangnya, sebagian kecil lain merasa tidak diperhatikan, berbelit-belit, lelah mencari, dan putus asa, hingga memutuskan untuk berhenti. Pare, kampung prihatin.

Menanggapi ini si Murabbi menyampaikan dengan sepenuh hati,”Jangan pernah berhenti meski hanya sepekan… Dalam kondisi apapun, yakinlah dirimu akan menemukan tarbiyah dimana-mana. Niatkan, jangan pernah dikendurkan niat itu…”

Kamu tidak pernah sendirian.

Benar, sesuatu akan terlihat lebih berharga dalam kondisi kritis. Oase bak surga di gurun, bak taman firdaus di padang tandus. Begitulah Murabbiku yang terakhir ini. Beliau selalu mampu menanamkan optimisme ke dalam diri, memperi pemahaman mendalam dan membekas di hati. Bukan, bukan berarti yang sebelumnya tidak mampu untuk itu. Tapi hanya perkara masa dan suasana. Yogyakarta dan kota-kota sebelumnya adalah surga bagi para pencari Tuhan, majelis ilmu bertebaran, sahabat dan amanah selalu siap membantu menjaga kondisi iman. Tiap mutiara terasa biasa. Tapi Pare adalah kampung prihatin, tempat mampir yang serba tidak permanen. Kukatakan pada seorang sahabat di UNY tadi malam, “Aku lagi kayak layangan lepas kalau soal ini. Pare Cuma tempat mampir, gak bisa dipake buat mikir hal yang terlalu serius.”

Begitulah. Beliau yang berlatarbelakang pendidik selalu mampu menyentuh hati, beliau akan menyampaikan materi dengan sepenuh perasaan. Entah berapa kali kulihat matanya berkaca-kaca saat menjelaskan tentang perjuangan dan pengorbanan. Kata-katanya adalah panah yang melesat dari busur, selalu tepat mengenai sasaran. Semangatnya menggebu. Pun sebagai umahat, materi yang disampaikan jauh lebih visioner daripada murobbi muda.

Teringat kata-kata beliau, “Di Australia, saudara ummi baru sebulan sudah ngampu beberapa kelompok. Salah satunya anak-anak asing yang lucu-lucu…”. Atau yang ini,“…meskipun kita sering mendengar bahwa para pejuang di Jakarta sudah mengalami penurunan kualitas dakwah, tapi jika kita –Jawa Timur- dibandingkan dengan mereka pasti kita masih jauh tertinggal. Geliat dakwah mereka lebih dulu 20 tahun. Perlu waktu dua puluh tahun lagi untuk membuat kita menjadi sama dengan mereka saat ini.” Lalu beliau akan meneteskan air mata, matanya yang berkaca-kaca seolah memperlihatkan betapa kerasnya perjuangan untuk menebarkan manisnya Islam di bumi Indonesia.

Kamu tidak pernah sendirian, maka teruslah bertahan.

Pagi ini beliau berkali-kali mengulang kalimat itu. Kami harus bertahan. Aku harus bertahan. Entah apa yang menghadang  di depan sana. Sesuatu yang bisa merapuhkan tekad, melemahkan niat, dan menjauhkan langkah dari jalan yang benar. Sesuatu atau lebih dari satu. Rintangan itu beragam. Kadang mereka tergelincir entah karena ego, entah karena prinsip, entah karena ketidakpercayaan, entah karena keraguan, entah karena perdebatan masalah cabang, entah karena keputus-asaan menanti kemenangan, atau hanya karena ketidak-tahuan. Betapa sulitnya menjaga iman. Maka bertahanlah.
Pengalamanku hanya sampai di sini, aku belum berani menulis lebih. Padahal beliau mengatakan bahwa proses ‘menjaga’ yang paling sulit adalah ketika pilihan menikah itu datang. Pada saat itulah masa depanmu dan masa depan anak keturunanmu dipertaruhkan. Saat itulah kamu akan sadar bahwa pertimbangan menikah bukan semata berlandas An-Nur ayat 26, tapi lebih jauh didasari dengan hadist: “Setiap anak dilahirkan dalam fitrahnya. Kedua orang tuanya yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi…”

Sudah siapkah? Menjaga agar generasi yang kita lahirkan nantinya menjadi generasi besar yang sesuai takdir kesuciannya? Sudah siapkah?

Tidak akan pernah siap jika hanya menunggu berlalunya malam dan siang tanpa sesuatu yang berarti. Maka mentarbiyah diri adalah salah satu jalan yang paling logis. Minimal tiap pekan, jangan terlewat. Itu saja syaratnya. Dan biarlah Islam dan dakwah yang mengantarkanmu pada jalan yang lebih dekat dengan Dia, Dzat terindah yang telah menciptamu, dalam kesucian janji.


Bayi yang memegang takdir kesucian.

1 komentar: