“Sungguh, kita masih bertahan di jalan dakwah ini adalah
semata kasih sayang Allah.”
Kalimat pembukanya pagi ini lagi-lagi berhasil menarik
seluruh fokus pikiranku. Seorang ibu yang nampak biasa, wajah teduhnya yang
biasa, bahasa tubuhnya yang bisa dibilang tidak se-keren trainer-trainer
berlabel ratusan hingga jutaan rupiah. Dia seseorang yang biasa saja. Hanya
seorang murabbi yang di setiap kata-katanya mampu mencipta hujan bahkan gemuruh
di hati, hanya seorang murabbi yang dengan kesederhanaannya mampu menampar hati
yang telah lama hibernasi, hanya seorang murabbi yang…
…
***
Hmm….
Inilah Islam. Yang jauh sebelum terlahir di dunia telah
kupegang sebagai agama. Lalu beruntung dibesarkan oleh keluarga yang
menerimanya –meski bukan zona gerakan-, Alhamdulillah mendewasa di bumi Allah bernama
Indonesia, yang ia di sini dapat tumbuh subur dan dipeluk mayoritas penduduk
–meski bukan zona paling produktif.
Sampai kini aku masih
menggenggamnya, menggigitnya dengan geraham. Aku bertahan bukan karena yang
lain tidak menarik, tapi karena yang menarik-menarik itu tidak lebih benar dari
yang aku genggam saat ini. Maka jika ada yang bertanya: “jika kamu dilahirkan
dari rahim seorang yahudi, apakah kau akan sekeras kepala ini terhadap Islam?”,
aku akan menjawab: “Allah lebih tahu atas takdirku. Bukanlah seorang bayi
dilahirkan dalam agama yang lain, kecuali bapak ibunya yang menjadikannya
begitu. Semua bayi punya Dia Yang Satu. Dan karena pertanyaanmu tidak pernah
terjadi padaku, maka aku akan menjaga agar anak dan seluruh keturunanku tidak
pernah mengalami itu…”
Tapi ‘menjaga’ adalah pekerjaan berat. Menjaga seorang anak
agar tetap berislam hingga akhir hayat adalah lebih sulit daripada menjaganya
sepanjang di dalam kandungan, dan tentu jauh lebih sulit lagi daripada menjaga
kesucian cinta yang dewasa ini sering dijadikan bahan mainan. Menjaga aqidah
adalah kesulitan yang begitu sulit, tiada daya upaya selain atas kehendak-Nya.
Karena itu, ikhtiar terbaiknya adalah mentarbiyah diri, sempanjang hayat, hingga
mati. Mentarbiyah diri berarti mendidik agar hati pikiran perbuatan senantiasa
berjalan seiring dengan iman, seiring dengan kenyataan bahwa setiap bayi
terlahir suci.
Pun masih banyak yang tergelincir… Entah karena ego, entah
karena prinsip, entah karena ketidakpercayaan, entah karena keraguan, entah
karena perdebatan masalah cabang, entah karena keputus-asaan menanti
kemenangan, atau hanya karena ketidak-tahuan. Mereka merasa banyak tahu atas
Islam dan tarbiyah, padahal mereka tidak tahu, lalu mereka membenci.
Begitulah, mereka yang hanya mampu menilai dari kulit luar,
mengadili hanya dari yang kasat mata. Mereka membenci hiruk pikuk politik, lalu
mereka membencinya secara keseluruhan. Mencacinya. Tapi… Aku maklum. Begitulah
aku beberapa tahun lalu.
“…karena seseorang
akan menjadi musuh terhadap apa yang tidak diketahuinya…”
Ungkapan Yahya bin Khalid itu sudah cukup menjelaskan
semuanya. Maka, maafkanlah atas kebencian seseorang terhadapmu dan terhadap
pilihan jalanmu. Sungguh bukan karena mereka ingin menjadi musuh, tapi hanya
karena mereka tidak tahu. Jikapun butuh waktu yang panjang untuk mereka
memahami betapa manisnya persaudaraan yang saling menasehati dan mewasiati,
betapa manisnya persaudaraan yang tidak pernah melepas genggaman hingga di
pintu firdaus, betapa manisnya hidup dalam bingkai qiyamul lail, alma’surat,
beberapa juz tilawah, puasa sunah, sodaqoh, dhuha, hingga naungan malaikat
dalam majelis… kamu hanya perlu bertahan. Tidak perduli sepanjang apa waktu
yang kamu butuhkan untuk meyakinkan mereka. Kamu hanya perlu bertahan.
Dan aku bertahan.
Aku bertahan bukan karena amanah yang mampu meningkatkan
popularitas, sungguh picik dengan alasan itu. Aku bertahan karena sudah terlalu
banyak yang Allah tunjukkan padaku. Terlalu banyak, hingga tidak ada lagi
alasan untuk pergi menjauh.
Ditunjukkan pertama kali saat SMA. Musi Rawas, kabupaten
kecil di ujung utara provinsi Sumatera Selatan. Tarbiyah telah mengalir halus
di aliran darahku. Bertemu seorang murabbi yang murah senyum dan teman-teman
yang sama-sama bertahan selama tiga tahun. Aku pernah menyampaikan pada mereka,
satu pekan saja yang terlewat adalah kemarau.
Lalu Yogyakarta adalah rimba raya yang begitu ganas. Aku
sempat terlepas. Siapa yang akan tahan dengan ribuan kepedihan yang mencaci? Siapa
yang tahan pada kelelahan tak berujung dan tanpa puji? Siapa yang tahan dengan
paksaan bertahan di dunia yang sama sekali tidak disukai? Siapa yang akan tahan
jika demi Dia engkau harus melepas, membunuh, merelakan cintamu? Tidak akan ada
yang mampu bertahan… kecuali atas kasih sayang Allah. Allah memelukmu lewat
persaudaraan itu. Allah memelukmu lewat sang Murabbi. Allah memelukmu lewat
mereka.
Di sana pula Allah memberi kesempatan mencicipi bumi santri.
Hanya mencicipi, sedikit saja dari jumlah tahun kehidupan yang aku miliki. Satu
tahun yang bagiku sungguh luar biasa, satu tahun paling berat sekaligus paling
membuatku mencintai ilmu dalam ikhtiar mentarbiyah diri, meski bagi ummi aku
adalah golongan santri paling kiri. Ah, ummi.
Empat murabbi, dengan karakter
yang berbeda. Yogyakarta adalah rumah kedua, yang hingga malam diputuskan akan
pergi, sesak dan tangis itu tak kunjung reda…
Tidak berhenti di situ. Allah menunjukkan bukti lain.
Di Thailand, aku diperlihatkan pada minoritas yang sama-sama
memperjuangkan takdir si Bayi Suci. Di musola kecil yang lebih layak disebut
gudang, aku berkenalan dengan mahasiswa muslim yang dengan tsiqoh dan tulus
mengenakan hijab dan berjanggut tipis. Di warung roti kecil yang begitu
romantis, aku berkenalan dengan warga keturunan Turki yang dengan kerinduan
mendalam ingin kembali ke negeri mereka yang harmonis. Mereka bak mutiara kecil
di antara para penduduk mayoritas. Memberiku
kesadaran, bahwa hidup di Indonesia dengan segala kemelut yang dihadapinya
adalah karunia besar. Islam mayoritas, meski tak sedikit yang abangan.
Bayi-bayi suci yang ditakdirkan Allah terlahir di Indonesia adalah bukan tanpa
alasan. Allah pasti mengutusnya untuk sebuah alasan: perjuangan.
Di Malaysia, kebalikan dari Thailand, pun Indonesia. Islam
adalah tunggal bermahzab Syafii, tidak ada perdebatan dan tidak ada
pertentangan. Syariat Islam adalah kesadaran tiap individu muslim tanpa
paksaan. Jika ada yang melanggar (tidak mengenakan jilbab, misalnya) secara
moral mereka akan otomatis terasing. Dan luar biasanya, dengan menghormati
toleransi tanpa perlu memperdebatkan perkara pluralitas, mereka bisa hidup
begitu harmonis dengan etnis China dan India dengan keberagaman agamanya.
Betapa indahnya. Tidak perlu cemburu, karena aku masih begitu yakin, bayi-bayi
suci yang ditakdirkan Allah terlahir di Indonesia adalah bukan tanpa alasan.
Allah pasti mengutusnya untuk sebuah alasan: perjuangan.
Di Malaysia aku sempat mencicipi lingkar pekan bersama para
mahasiswa pascasarjana. Sang Murabbi beserta mutarabbinya berhasil mencipta
kesan mendalam, bahwa tarbiyah tidak melulu membahas perkara tradisional. Tapi
di sana aku tersadar bahwa Islam telah beranjak pada masa yang penuh teknologi
dan perkembangan ilmu pengetahuan tak terbendung. Maka mentarbiyah diri semakin
meluas pada poin ketiga: menguasai bidang keilmuan tertentu yang membawa manfaat
bagi umat.
Tarbiyah… aku
menemukanmu dimanapun.
Kali ini tentang kakak perempuanku. Jujur, beliau sempat
vakum dalam waktu yang lama dalam mentarbiyah diri. Jalan hidupnya adalah
tauladan bagiku. Jatuh bangunnya dalam menggapai ilmu telah mengantarkannya ke
bumi paling timur Indonesia. Papua. Aku selalu berpikiran buruk tentang pulau
itu, terlebih perasaan khawatir melepasnya hidup sendiri di negeri yang begitu
liar. Hingga akhirnya anggapanku itu pupus hancur melebur ketika beliau
bercerita tentang awal hidupnya di Papua. Baru beberapa pekan, beliau memintaku
membelikan beberapa buku tarbiyah keislaman. Untuk apa? Beliau hanya menjawab
bahwa beliau sudah diminta menjadi murabbi dan mengampu beberapa kelompok
halaqoh. MasyaAllah. Allah telah mengutus manusia-manusia lain ke buminya yang
satu itu. Semoga karunia Allah selalu merahmati tanah Papua. Dan begitu juga
kakakku, Allah telah memberinya pelindung, suami yang insyaAllah akan
menjaganya dan anak keturunannya agar tetap berada dalam takdir kesucian.
Dan kini aku di Pare, kampung kecil yang begitu terkenal
dengan Bahasa Inggrisnya. Tidak sulit sebenarnya mencari kelompok baru. Tinggal
perkara niat. Banyak yang hanyut terbawa arus dan tidak pernah kembali pada
tarbiyah keislaman, di sini, kampung kecil yang hiruk pikuk dengan segala
godaannya. Sebabnya sepele, sebagian besar menganggap Pare hanya tempat singgah
sebulan dua bulan, ‘libur dulu gak papa’.
Tapi berdampak pada sikap terlena dan enggan, akhirnya sama sekali berhenti.
Malangnya, sebagian kecil lain merasa tidak diperhatikan, berbelit-belit, lelah
mencari, dan putus asa, hingga memutuskan untuk berhenti. Pare, kampung
prihatin.
Menanggapi ini si Murabbi menyampaikan dengan sepenuh
hati,”Jangan pernah berhenti meski hanya sepekan… Dalam kondisi apapun,
yakinlah dirimu akan menemukan tarbiyah dimana-mana. Niatkan, jangan pernah
dikendurkan niat itu…”
Kamu tidak pernah
sendirian.
Benar, sesuatu akan terlihat lebih berharga dalam kondisi
kritis. Oase bak surga di gurun, bak taman firdaus di padang tandus. Begitulah
Murabbiku yang terakhir ini. Beliau selalu mampu menanamkan optimisme ke dalam
diri, memperi pemahaman mendalam dan membekas di hati. Bukan, bukan berarti
yang sebelumnya tidak mampu untuk itu. Tapi hanya perkara masa dan suasana.
Yogyakarta dan kota-kota sebelumnya adalah surga bagi para pencari Tuhan,
majelis ilmu bertebaran, sahabat dan amanah selalu siap membantu menjaga
kondisi iman. Tiap mutiara terasa biasa. Tapi Pare adalah kampung prihatin,
tempat mampir yang serba tidak permanen. Kukatakan pada seorang sahabat di UNY
tadi malam, “Aku lagi kayak layangan
lepas kalau soal ini. Pare Cuma tempat mampir, gak bisa dipake buat mikir hal
yang terlalu serius.”
Begitulah. Beliau yang berlatarbelakang pendidik selalu
mampu menyentuh hati, beliau akan menyampaikan materi dengan sepenuh perasaan.
Entah berapa kali kulihat matanya berkaca-kaca saat menjelaskan tentang
perjuangan dan pengorbanan. Kata-katanya adalah panah yang melesat dari busur,
selalu tepat mengenai sasaran. Semangatnya menggebu. Pun sebagai umahat, materi
yang disampaikan jauh lebih visioner daripada murobbi muda.
Teringat kata-kata beliau, “Di Australia, saudara ummi baru
sebulan sudah ngampu beberapa kelompok. Salah satunya anak-anak asing yang
lucu-lucu…”. Atau yang ini,“…meskipun kita sering mendengar bahwa para pejuang
di Jakarta sudah mengalami penurunan kualitas dakwah, tapi jika kita –Jawa
Timur- dibandingkan dengan mereka pasti kita masih jauh tertinggal. Geliat
dakwah mereka lebih dulu 20 tahun. Perlu waktu dua puluh tahun lagi untuk
membuat kita menjadi sama dengan mereka saat ini.” Lalu beliau akan meneteskan
air mata, matanya yang berkaca-kaca seolah memperlihatkan betapa kerasnya
perjuangan untuk menebarkan manisnya Islam di bumi Indonesia.
Kamu tidak pernah
sendirian, maka teruslah bertahan.
Pagi ini beliau berkali-kali mengulang kalimat itu. Kami
harus bertahan. Aku harus bertahan. Entah apa yang menghadang di depan sana. Sesuatu yang bisa merapuhkan
tekad, melemahkan niat, dan menjauhkan langkah dari jalan yang benar. Sesuatu
atau lebih dari satu. Rintangan itu beragam. Kadang mereka tergelincir entah
karena ego, entah karena prinsip, entah karena ketidakpercayaan, entah karena
keraguan, entah karena perdebatan masalah cabang, entah karena keputus-asaan
menanti kemenangan, atau hanya karena ketidak-tahuan. Betapa sulitnya menjaga
iman. Maka bertahanlah.
Pengalamanku hanya sampai di sini, aku belum berani menulis lebih.
Padahal beliau mengatakan bahwa proses ‘menjaga’ yang paling sulit adalah
ketika pilihan menikah itu datang. Pada saat itulah masa depanmu dan masa depan
anak keturunanmu dipertaruhkan. Saat itulah kamu akan sadar bahwa pertimbangan menikah
bukan semata berlandas An-Nur ayat 26, tapi lebih jauh didasari dengan hadist:
“Setiap anak dilahirkan dalam fitrahnya. Kedua orang tuanya yang menjadikannya
sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi…”
Sudah siapkah? Menjaga agar generasi yang kita lahirkan
nantinya menjadi generasi besar yang sesuai takdir kesuciannya? Sudah siapkah?
Tidak akan pernah siap jika hanya menunggu berlalunya malam
dan siang tanpa sesuatu yang berarti. Maka mentarbiyah diri adalah salah satu
jalan yang paling logis. Minimal tiap pekan, jangan terlewat. Itu saja
syaratnya. Dan biarlah Islam dan dakwah yang mengantarkanmu pada jalan yang
lebih dekat dengan Dia, Dzat terindah yang telah menciptamu, dalam kesucian
janji.
Bayi yang memegang
takdir kesucian.
sangat bagus
BalasHapuswww.uma.ac.id