Senja

Jumat, 28 November 2014

Kartu Tarot

Seburuk-buruk tabiat mama, aku benci saat ada orang lain yang menggunjingnya. Apalagi jika itu terjadi di depan mataku.


Dia membagikan kartu-kartu itu kepada pengunjung dengan sangat cekatan. Wajahnya anggun dengan make up yang semakin menambah tegas tatapannya. Senyumnya membius, seolah mengatakan bahwa tidak ada di dunia ini yang tidak ia ketahui. Sedangkan di sisi meja yang lain, sosok-sosok pengunjung tampak pengecut. Harap-harap cemas pada serangkai kata-kata yang nantinya akan meluncur dari bibir mamaku, menyikapi selembar-dua kartu yang mereka pilih.

Aku mengamati dari bawah meja, mengintip dengan rasa tak kalah penasaran dari si Penderita. Aku selalu kagum tiap kali pengunjung akhirnya tertegun atau mengumpat kecewa atas hasil ramalan mama. Luar biasa bagiku. Dan seusia itu, aku masih begitu percaya bahwa mama memiliki indera keenam yang mampu mengantarkan ia pada masa depan dan masa lalu, layaknya lorong waktu.
Aku selalu menunggu hingga sore, hanya duduk dan memainkan boneka Barbie yang rambutnya kian hari kian kumal. Aku menunggu mama bangkit dan menggandengku pulang untuk sejenak mampir membeli gulali. Aku selalu cerewet sepanjang perjalanan, menanyakan apakah aku akan memiliki kemampuan yang sama saat dewasa nanti, dan aku selalu nyaris menangis setiap ia menjawab dengan tegas: “Tidak, Nak. Tidak akan!” Dan kemudian lampu jalanan dari mall hingga rumah kecil kami tampak begitu jahat karena mengejekku. Mereka menyangsikan kemampuanku untuk menjadi seperti mama. Padahal dalam hati aku bertekad bahwa aku akan sepertinya, bahkan lebih baik!
            Tapi, nyatanya kata-kata seorang ibu lebih mustajab dari apapun, meski apapun. Aku tidak pernah menjadi seperti ia, tidak pernah memiliki kemampuannya, dan tidak pernah mau mencoba untuk itu. Akupun masih gamang, bagaimana sosoknya juga berubah dalam presepsiku. Dulu, ia begitu mengagumkan. Dia mama terhebat yang pernah aku miliki. Sosok teranggun yang kukenal. Jiwa paling tegas yang pernah aku yakini. Sikap percaya diri yang paling cantik dari wajah-wajah yang pernah kuamati. Aku tidak pernah berharap kehilangannya. Aku tidak ingin dia berubah.
Tapi kini aku berharap dia berubah.
Dia benar-benar menjadi sosok yang lain, tapi berlawanan dengan yang aku harapkan. Dia berubah menjadi sosok yang sama sekali berbeda. Sosok pilu, dengan tatapan kosong dan kulit memucat. Bibirnya tak henti bergetar, menggumamkan kata-kata yang asing bagi sesama manusia. Sesekali ia akan berteriak atau menangis, tapi kian hari kian lemah untuk melakukan itu. Kini, ia hanya terbaring tanpa daya di atas tempat tidur rumah sakit. Ia akan menghabiskan sepanjang harinya untuk menghitung guratan di langit-langit ruangan. Bibirnya tidak lagi sering bergumam, hanya berganti kerutan dahi yang menandakan ia sedang memikirkan sesuatu. Sesuatu yang aku maupun bapak tidak pernah dan tidak akan pernah paham.
Aku kehilangan tatapan tegasnya, aku sudah kehilangannya sejak lama. Mata itu kini sayu, seolah memohon pemaafan. Atau mungkin aku yang lagi-lagi salah mengartikan pertanda. Hatiku mulai berubah jahat. Entah berapa kali aku berusaha mengelak bahwa aku berharap ia bukan mamaku. Aku berharap  ia menghilang. Aku berharap ia adalah mitos yang dikisahkan lewat dongeng dan akan dengan mudah kulupakan setelah tidur. Tapi nyatanya dia masih mamaku.

Aku tidak ingat sejak kapan ia mulai berubah....




Antologi Cerpen Al Huda FBS UNY
Pemesanan 085741393893 (Nana Farida Yumna Karima)

1 komentar:

  1. JIKA ANDA INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL HBG AKI NUGROHO DI NMR (_0_8_2_3_1_9_2_0_8_8_6_5_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB SEPERTI KAMI SUDAH 7 X TERBUKTI TRIM’S ROO,MX SOBAT

    BalasHapus