Seburuk-buruk tabiat mama, aku
benci saat ada orang lain yang menggunjingnya. Apalagi jika itu terjadi di
depan mataku.
Dia
membagikan kartu-kartu itu kepada pengunjung dengan sangat cekatan. Wajahnya
anggun dengan make up yang semakin
menambah tegas tatapannya. Senyumnya membius, seolah mengatakan bahwa tidak ada
di dunia ini yang tidak ia ketahui. Sedangkan di sisi meja yang lain,
sosok-sosok pengunjung tampak pengecut. Harap-harap cemas pada serangkai
kata-kata yang nantinya akan meluncur dari bibir mamaku, menyikapi selembar-dua
kartu yang mereka pilih.
Aku
mengamati dari bawah meja, mengintip dengan rasa tak kalah penasaran dari si
Penderita. Aku selalu kagum tiap kali pengunjung akhirnya tertegun atau
mengumpat kecewa atas hasil ramalan mama. Luar biasa bagiku. Dan seusia itu,
aku masih begitu percaya bahwa mama memiliki indera keenam yang mampu
mengantarkan ia pada masa depan dan masa lalu, layaknya lorong waktu.
Aku
selalu menunggu hingga sore, hanya duduk dan memainkan boneka Barbie yang
rambutnya kian hari kian kumal. Aku menunggu mama bangkit dan menggandengku
pulang untuk sejenak mampir membeli gulali. Aku selalu cerewet sepanjang
perjalanan, menanyakan apakah aku akan memiliki kemampuan yang sama saat dewasa
nanti, dan aku selalu nyaris menangis setiap ia menjawab dengan tegas: “Tidak,
Nak. Tidak akan!” Dan kemudian lampu jalanan dari mall hingga rumah kecil kami
tampak begitu jahat karena mengejekku. Mereka menyangsikan kemampuanku untuk
menjadi seperti mama. Padahal dalam hati aku bertekad bahwa aku akan
sepertinya, bahkan lebih baik!
Tapi,
nyatanya kata-kata seorang ibu lebih mustajab dari apapun, meski apapun. Aku
tidak pernah menjadi seperti ia, tidak pernah memiliki kemampuannya, dan tidak
pernah mau mencoba untuk itu. Akupun masih gamang, bagaimana sosoknya juga
berubah dalam presepsiku. Dulu, ia begitu mengagumkan. Dia mama terhebat yang
pernah aku miliki. Sosok teranggun yang kukenal. Jiwa paling tegas yang pernah
aku yakini. Sikap percaya diri yang paling cantik dari wajah-wajah yang pernah
kuamati. Aku tidak pernah berharap kehilangannya. Aku tidak ingin dia berubah.
Tapi
kini aku berharap dia berubah.
Dia
benar-benar menjadi sosok yang lain, tapi berlawanan dengan yang aku harapkan.
Dia berubah menjadi sosok yang sama sekali berbeda. Sosok pilu, dengan tatapan
kosong dan kulit memucat. Bibirnya tak henti bergetar, menggumamkan kata-kata
yang asing bagi sesama manusia. Sesekali ia akan berteriak atau menangis, tapi
kian hari kian lemah untuk melakukan itu. Kini, ia hanya terbaring tanpa daya
di atas tempat tidur rumah sakit. Ia akan menghabiskan sepanjang harinya untuk
menghitung guratan di langit-langit ruangan. Bibirnya tidak lagi sering
bergumam, hanya berganti kerutan dahi yang menandakan ia sedang memikirkan
sesuatu. Sesuatu yang aku maupun bapak tidak pernah dan tidak akan pernah
paham.
Aku
kehilangan tatapan tegasnya, aku sudah kehilangannya sejak lama. Mata itu kini
sayu, seolah memohon pemaafan. Atau mungkin aku yang lagi-lagi salah mengartikan
pertanda. Hatiku mulai berubah jahat. Entah berapa kali aku berusaha mengelak
bahwa aku berharap ia bukan mamaku. Aku berharap ia menghilang. Aku berharap ia adalah mitos
yang dikisahkan lewat dongeng dan akan dengan mudah kulupakan setelah tidur.
Tapi nyatanya dia masih mamaku.
Antologi Cerpen Al Huda FBS UNY
Pemesanan 085741393893 (Nana Farida Yumna Karima)
JIKA ANDA INGIN MERASAKAN KEMENANGAN DI DALAM BERMAIN TOGEL HBG AKI NUGROHO DI NMR (_0_8_2_3_1_9_2_0_8_8_6_5_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB SEPERTI KAMI SUDAH 7 X TERBUKTI TRIM’S ROO,MX SOBAT
BalasHapus