Senja

Kamis, 17 November 2011

Aku Ingin Tetap di Sini

*Catatan kala SMA

            Di Rohis[1] sekolahku ada sebuah tradisi yang bagi siswa-siswi yang telah menjadi pengurus Rohis sebelumnya, yakni anak-anak kelas XII. Tradisi ini merupakan langkah awal bagi mereka untuk menapaki jalan dakwah dengan menjadi tutor[2] dan astor (asisten tutor) yang masing-masing akan mengisi mentoring[3] untuk anak-anak kelas X. Saat-saat inilah mereka berusaha memberikan yang terbaik dan berharap dapat menjadi murobbi/murobbiah[4] yang sebenarnya.
            Begitu pula angkatanku, yang sebentar lagi akan menyerahkan estafet kepengurusan ke angkatan selanjutnya, turut bersemangat menyambut tradisi itu dan mempersiapkan segala hal. Karena tidak semudah yang dibayangkan, kami masih harus mengikuti seleksi dan berbagai pelatihan dulu. Di sanalah kami nantinya akan ditempah dan dibekali berbagai macam hal serta dikenalkan pada dunia dakwah agar kami mampu mengatasi rintangan yang akan menghadang kelak.
            Bukan hal yang sulit bagiku untuk melewati seleksi dan pelatihan itu, karena aku sudah memiliki pengalaman sebelumnya menggantikan kakak kelasku yang berhalangan mengisi mentoring tahun lalu. Sedikit-sedikit aku juga sudah mendapatkan ilmu dari pelatihan-pelatihan kepengurusan sebelumnya. Hanya satu alasan yang membuatku pesimis bisa dipilih. Alasan itu ada di hatiku.
            Ya, sudah beberapa kali aku ditegur teman-teman karena kepergok sedang ‘jalan’ dengan pacarku. Aku tahu niat baik teman-teman yang tidak mau aku ditegur murobbiku. Mereka juga mengingatkanku tentang jabatanku di Rohis, juga tentang kabar miring yang akan tersebar nantinya. Memang ku akui, kami sebagai pengurus Rohis sangat sensitive terhadap hal-hal seperti ini. Akan banyak yang menggunjingkan kami, terutama adik-adik kelas yang menuntut kesempurnaan kami. Ya, mereka menuntut kesempurnaan sosok yang ingin diteladaninya. Tapi, bukankah aku bukan seorang Rosul?
            Yang membuatku sedih adalah teguran teman-teman agar aku ‘putus’ dengan pacarku karena –mereka bilang- tidak akan dipilih menjadi tutor anak-anak yang tidak istiqomah[5] di Rohis. Tahukah, betapa sedihnya aku? Aku harus memilih antara dua hal yang sama-sama ku cintai. Sosok pacarku yang aku nyaman dengannya dan sosok Rohis yang penuh impianku untuk menjadi tutor.
            Cinta? Kenapa begitu sulit? Haruskah ku tinggalkan dia yang selama ini selalu menemaniku, yang memberiku semangat, yang membuatku tertawa, yang ada saat ku menangis? Ah, entahlah!
            Besok, hari minggu, akan diadakan hari yang penting itu. Seleksi sekaligus pelatihan tutor. Aku telah mempersiapkan segala hal untuk mengikutinya, alasan hati akan kupikirkan nanti. Tapi sepertinya semua tidak berjalan demikian mulus. Hari ini, saat liqo’, ternyata teman-temanku banyak yang tidak bisa hadir untuk kegiatan besok, hampir 90%. Alasannya, banyak yang tidak diperbolehkan orang tua, ada juga yang mengeluh terlalu dekat dengan lebaran –saat itu memang bulan Ramadhan-, dan banyak lagi alasan lain.
            Begitupun aku. Tadi pagi aku dimarahi habis-habisan oleh orang tuaku. Mereka tidak setuju aku terlalu banyak mengikuti kegiatan ekstra, apalagi sudah mau kelas XII. Sudah ku jelaskan bahwa ini tugas terakhirku dan nantinya ekskul-ekskul lain akan ku tinggalkan. Ku mohon untuk mengizinkan aku tetap eksis di Rohis. Tapi apa mau dikata, mereka tetap tidak mengizinkan. Kadang aku berfikir, beruntungnya memiliki orang tua seperti temanku yang lainnya, yang mengizinkan anak-anaknya untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Ukh…!
            Akhirnya ketua liqo’ kami memutuskan –demi kekompakan- kami tidak akan hadir semua. Saat itu juga kami meminta maaf dan izin pada murobbi, dengan wajah kecewa terpaksa murobbi mengizinkan kami.
            Kegiatan itu tetap dilaksanakan, karena memang harus begitu. Seperti kata murobbi: “Setengah isi lebih baik daripada setengah kosong”. Ketika dalam suatu kegiatan hanya sedikit yang datang, pikirkanlah apa yang dapat dilakukan oleh sedikit orang itu untuk menghasilkan sesuatu yang maksimal. Jangan pikirkan sebagian yang tidak hadir, lalu mencoba saling menyalahkan dan merasa tidak dapat melakukan apa-apa tanpa mereka, hal itu tidak akan menghasilkan apa-apa.
Ku manfaatkan waktu senggang ini untuk bermuhasabah[6]. Ku pikirkan lagi, mana yang lebih penting antara pacar dan Rohis. Ku ingat kembali segala masukan saran dari teman-teman, ku kelompokkan, ku bandingkan, ku timbang, ku telaah. Entah dari mana, aku mulai mendapatkan keputusan. Mungkin benar saran kebanyakan temanku, teman-teman liqo’, kesempatan menjadi tutor sangatlah sulit, haruskah ku relakan hanya demi pacar yang suatu saat nanti akan meninggalkanku. Oke, kuputuskan untuk memilih: Rohis!
Segera aku menelpon pacarku. Ragu sempat menghantui, tapi aku harus tegar! “Maafin aku…” ucapku setelah menjelaskan semuanya. Ketidakpercayaan terdengar di seberang, beberapa saat kami berdebat tapi akhirnya dia mengalah.
“Baiklah, aku tahu ini semua demi kebaikan. Aku akan menunggumu sampai kamu menarik kembali semua keputusan itu…” kalimat terakhirnya begitu mengiris hatiku hingga akhirnya sambungan telepon ku tutup. Entahlah, walau aku mencoba kuat, tapi tetap saja sedih…
Tak lama berselang sebuah SMS masuk ke HP ku, dari murrobi.
“Adikku yang sholehah. Jikalau adek diberi pilihan antara dua hal. Yang pertama, berdakwah, melakukan kegiatan demi agama Allah, dan yang kedua, meninggalkannya demi kemanfaatan duniawi saja, manakah yang akan adek pilih? Ingat dek, satu alasan untuk tidak hadir, seribu solusi untuk bisa hadir.”
Aku menangis. Ya Allah, kenapa murobbiku tidak mengerti? Aku tidak hadir karena orang tuaku, bukan karena kegiatan yang tidak bermanfaat. Apakah orang tua bukanlah alasan yang bisa diterima? Apakah mereka tidak tahu? Murobbiku…

***
Senin pagi, aku mendapat keluhan yang mengejutkan. Tiga orang teman liqo’ku ikut kegiatan kemarin, padahal kami sudah sepakat untuk tidak hadir sama sekali. Kami sangat kecewa pada mereka, karena dengan begitu, alasan kami untuk tidak hadir menjadi tidak kuat. Pasti murobbi berfikir, tiga orang itu saja bisa hadir, kenapa kami tidak? Padahal kami berharap, jika kami tidak hadir semua, akan diadakan pelatihan susulan untuk kami. Karena sejujurnya kami sangat ingin ikut pelatihan, tapi mungkin dikesempatan yang lain.
Harapan kami sirna. Kami pasrah, akan kami terima semua keputusan murobbi, walaupun tidak terpilih sebagai tutor. Aku ‘manut’ saja, walau ingin sekali jadi tutor, tapi toh bukan aku sendiri yang tidak terpilih. Tapi instingku mengatakan, kami akan tetap terpilih. Karena liqo’ kami lah yang selalu diandalkan dalam hal seperti ini. Tidak mungkin nantinya mentoring tidak dilaksanakan karena kekurangan tenaga murobbiah. Aku yakin.
Betul saja, beberapa hari berselang pengumuman tutor terpilih ditempel di mading Rohis, nama teman-temanku tertera di sana. Ku baca satu-persatu nama itu untuk memastikan aku mengisi kelas mana. Sekali, nihil. Dua kali, tidak ada. Tiga kali, pasti ada kesalahan! Namaku tidak tercantum!

***

Hari-hari berlalu dengan penuh keceriaan teman-temanku. Mereka begitu semangat mempersiapkan diri untuk mentoring pertama kamis besok. Ya, semuanya ceria, kecuali aku.
Setelah ku pastikan dan bertanya ke sana kemari ternyata aku memang tidak terpilih, juga dua orang temanku yang lain. Entahlah, aku merasa sangat kecewa. Akupun mulai bertanya-tanya, kenapa?
Fulan[7], temanku yang tidak terpilih, seorang yang sering ditegur murobbi karena jarang ikut liqo’. Fulan, temanku yang satunya, seorang yang sering ditegur juga karena sering buka tutup jilbab. Lalu aku? Kenapa? Apakah aku begitu buruknya?
Aku merasa ini tidak adil! Kalau tidak ikut pelatihan adalah alasan kenapa aku tidak dipilih, bukankah teman-temanku juga tidak ikut? Kalau ‘pacar’ adalah alasan kenapa aku tidak dipilih, bukankah aku sudah putus? Aku merasa pengorbananku sia-sia! Sungguh tidak adil! Beberapa temanku bahkan terpilih mengisi halaqoh untuk kelas XI, mereka sudah dipastikan menjadi murobbi. Sedangkan aku? Astorpun aku tidak terpilih. Apakah aku begitu buruknya?
Aku benci! Jika tahu begini, harusnya aku tidak bertengkar dengan orang tuaku, harusnya aku tidak pusing tentang persiapan mentoring, harusnya aku tidak putus dengan pacarku, harusnya aku tidak ikut Rohis!
Aku benci!

***

            Sejak saat itu aku mulai malas ikut liqo’. Kalaupun hadir, aku ikuti dengan ogah-ogahan. Aku mulai merasa asing dalam forum ini. Mungkin memang aku harus sadar, aku hanya itik buruk rupa yang bermain di taman para malaikat. Dan malaikat-malaikat ini sekarang harus meneruskan tugas mulianya, tidak ada waktu lagi untuk seekor itik. Aku yang harusnya tahu diri, sebaiknya aku keluar dari komunitas malaikat ini.
            Dan suatu hari sepulang sekolah, seorang teman mendekatiku. Ia mengajakku bicara. Aku tahu, ini imbas dari ukhuwah[8] yang terjalin hampir dua tahun ini. Mereka seperti tahu isi hatiku. Ya Allah, kenapa saat aku mulai mencintai forum ini, aku harus meninggalkannya. Kenapa saat aku mulai nyaman dengan orang-orang ini, aku harus sadar kalau aku bukan bagian dari mereka. Ya Allah…
            Tidak ada yang terjadi, aku hanya diam seribu bahasa selama bersamanya. Dia merayuku berkali-kali untuk bicara. Akhirnya aku bosan, ku katakan “Tidak apa-apa ukhty, hanya mungkin ini memang bukan bidangku, aku akan mencoba di bidang yang lain.”
            Aku segera naik andes[9], ku dengar kalimatnya terakhir. “ Jalan dakwah bukan hanya ini Ty…”
            Ah, entahlah…

***

            Aku gelisah. Aku mulai berfikir, ada sesuatu yang aneh pada diriku. Aku merasa tidak tenang. Seperti biasa, kulampiaskan perasaan-perasaan aneh itu dengan membaca buku. Aku tertarik untuk membaca majalah-majalah lama yang bertumpuk di kamarku. Tiba-tiba saja, aku tertegun ketika membaca kutipan-kutipan dalam sebuah artikel.

Tidaklah beriman seseorang sehingga dia mencintai aku melebihi cintanya kepada dirinya sendiri (Al Hadist)

Apakah aku telah mencintai Dia dan Rosul- Nya melebihi cintaku pada diri sendiri? Bahkan pacarku…

Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan nasehat-menasehati supaya menetapi kebenaran, dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al Asr : 3)

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (QS. As Saff : 4)

Sampaikanlah olehmu apa-apa yang berasal dari ku, walau hanya satu ayat. (Al Hadist)

Kenapa aku begitu lemah dalam perjuangan ini? Aku menyerah pada daftar nama-nama tutor terpilih. Aku menyerah…

Siapa aku…

Ya Allah, aku malu. Aku telah sombong pada diriku sendiri. Aku telah merasa begitu suci sebelumnya. Padahal, siapalah aku di mata-Mu ya Allah. Aku melakukannya dengan tidak ikhlas, hanya untuk terlihat alim di antara teman-temanku. Bukan karena-Mu ya Allah, bukan karena-Mu.
Lalu aku mengabaikan kasih-sayang orang-orang yang mengasihiku. Bersu’uzdon, dengki, iri, ya Allah, betapa buruknya aku. Izinkanlah aku bertaubat ya Allah. Izinkanlah…

***

Untuk saudaraku karena Allah, cerita ini belum berakhir, seperti perjuangan dakwah yang masih panjang. Ini barulah awalnya… Tetap semangat! Allahuakbar! (Hehe… Over acting nie!)
Untuk murobbi dan murobbiah… Kami mencintaimu karena Allah…


[1] Kerohanian Islam, sebuah ekstra kulikuler keagamaan
[2] Pengisi materi
[3] Kegiatan/forum yang membahas berbagai macam hal tentang keagamaan
[4] Kakak pembina dalam sebuah mentoring
[5] Teguh pendirian
[6]Renungan, Intropeksi diri
[7] Menyebut seseorang tanpa disertai nama
[8] Persaudaraan muslim
[9] Angkutan desa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar