Senja

Rabu, 11 Januari 2012

Konsep Pendidikan Seni Rupa

Konsep Pendidikan Seni

Setiap manusia terlahir dengan rasa seni. Secara naluriah setiap manusia melakukan kegiatan sehari-harinya dengan mempertimbangkan keindahan, keseimbangan, serta prinsip seni lainnya. Perbedaannya hanya terletak pada kualitas dan bentuknya saja. Di sinilah diperlukan pendidikan seni sebagai sarana mengasah kepekaan rasa seni tersebut. Dengan pendidikan seni,
individu dilatih ketajamannya merasa, mengungkapkan ide/gagasannya ke dalam bahasa visual yang berarti peningkatan kualitas komunikasi, serta membantu pertumbuhan mental. Pembinaan cipta, rasa dan karsa yang koheren dengan berbagai bidang kehidupan akan membantu meningkatkan kualitas diri guna menghadapi tantangan sosial yang kompleks. Hal-hal tersebut dapat menjadi bekalnya untuk menghadapi tantangan hidup di masa depan. Tentu saja tidak sekedar mencapai tujuan praktis yang mungkin bisa didapatkan di sanggar atau pendidikan seni nonformal lainnya. Namun lebih dari itu, pelajaran seni di sekolah umum/formal harus mampu membentuk setiap peserta didik menjadi individu yang memiliki kecerdasan dan emosi yang seimbang, sehingga mampu memberi solusi terhadap permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Penjelasan tadi kemudian membawa ke sebuah pernyataan, yaitu: “Pendidikan Seni sebagai bagian integral dari pendidikan, oleh karenanya pengajaran seni tidak bertujuan mencetak seniman.” Artinya memang pengajaran seni bukan berorientasi pada pembentukan individu sebagai seniman. Pandangan orang awam selama ini bahwa pendidikan seni berarti menjadikan setiap peserta didiknya mampu berkarya dan mampu berkompetisi misalnya menang dalam lomba menggambar. Hal ini malah membuat kekecewaan pada pendidikan seni karena tidak tercapainya harapan membentuk individu yang memiliki skill berkarya secara maksimal. Padahal harus dipahami bahwa pengajaran seni memiliki fungsi lain selain pembentukan skill, yaitu membentuk keseimbangan kecerdasan, koordinasi otak dan rasa dipadukan kecerdasan visual, melatih penalaran melalui pengamatan terhadap lingkungan sekitar sehingga memahami permasalahan secara komprehensif. Jadi, bukan sekedar mengasah kemampuan berkarya, mencipta, namun mampu menyeimbangkan kecerdasan dari otak kanan dan kiri berupa kecerdasan emosional, humanistik, rasional, logis dan sebagainya.
Dikaitkan dengan pendidikan karakter yang memiliki arti “suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil”, maka pendidikan seni memiliki peran dalam melaksanakan tujuan dalam pembentukan individu yang berkarakter tersebut. Dengan pembinaan cipta, rasa dan karsa, peserta didik dilatih untuk peka terhadap kondisi lingkungannya. Secara tidak langsung moral peserta didik dibentuk, sikap kepedulian terhadap lingkungan dan terbentuk perilaku yang sadar terhadap permasalahan sekitar, kesabaran, keuletan. Kemudian mengaplikasikan nilai-nilai positif tersebut dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi kebiasaan.
Pada pengelolaanya, pengajaran seni telah diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan karakter tersebut. Dapat dilihat dari tujuan pendidikan dalam UU no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, kemudian dalam Permendiknas N0.23/2006 tentang Standar kompetensi lulusan secara formal sudah digariskan untuk masing-masing jenis atau satuan pendidikan sejumlah rumusan Standar Kompetensi Lulusan (SKL). substansi nilai/karakter. (BSNP, 2006). Berikut ini substansi nilai/karakter yang ada pada setiap SKL tersebut. antara lain: iman dan taqwa, jujur, disiplin, terbuka,nasionalistik, bernalar, kreatif, peduli, tanggung jawab, bersih, santun, gotong royong, gigih, bervisi, dan adil.


Implementasi Pendidikan Seni

Memang, menjadi keanehan jika lulusan pendidikan seni tidak mampu menghasilakn karya seni. Maka adalah suatu kewajiban bagi setiap peserta pendidikan seni untuk menguasai praktek berkarya. Kemampuan ini adalah mutlak. Namun pada pelaksanaannya,  menurut saya, bukanlah berarti setiap lulusan pendidikan seni harus semata-mata menjadi peseni/seniman. Tidak melulu bekerja membuat karya berupa lukisan, patung atau yang lain kemudian dipamerkan atau dijual, namun kemampuan menerapkan ilmu yang dimiliki dalam bidang lain lebih diutamakan. Pengembangan materi yang telah didapatkan kemudian diaplikasikan dalam bentuk lain seperti keahlian mengkonsep (teori), manajemen, kepekaan rasa diaplikasikan ke bidang lain di luar bidang seni sehingga ilmu tersebut lebih bermanfaat menjadi suatu hal yang lebih penting.

Terdapat 2 kelompok yang memandang seni dan pelaksanaannya di sekolah umu. Yaitu kaum fragmatis dan kaum esensialis.
Bagi kaum fragmatis, seni dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia di berbagai bidang kehidupan seperti untuk pemenuhan kebutuhan peralatan hidup melalui kria dan berbagai kemajuan desain, sebagai sarana perkembangan kejiwaan melalui pembinaan perasaan maupun penalarannya, dan termasuk sebagai pemenuhan kebutuhan pendidikan. Pandangan disebut L’art pour Engange. Karena itu kaum fragmatis setuju untuk memasukkan seni ke dalam kurikulum pendidikan, dengan harapan lewat pendidikan seni dapat dihasilkan SDM yang memiliki skill untuk mencapai manfaat-manfaat tersebut.
Sedangkan bagi kaum esensial yaitu orang-orang yang merupakan seniman murni menganggap bahwa karya seni adalah ekspresi jiwa, tempat mengungkapkan perasaan tanpa ada latar belakang lain seperti bisnis dan komersial. Seni adalah media untuk mengungkapkan ide dan gagasan, sebagai sarana mengungkapkan pendapat, sebagai alat untuk menwujudkan perasaan dan pikiran supaya terlepas dari beban dan bukannya untuk tujuan-tujuan lain yang berbau keuntungan komersial. Pandangan esensial ini disebut gagasan seni untuk seni (L’art pour L’art). Maka jika seni masuk dalam kurikulum  pendidikan maka kaum esensial berharap tidak lebih untuk menciptakan para seniman yang mampu mengungkapkan diri melalui bahasa rupa.
Menurut saya, alangkah lebih baik jika kedua pandangan ini digabungkan sehingga manfaat seni untuk tujuan ekspresi jiwa dan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup dapat tercapai dan bersinergi dengan baik. Toh dalam kehidupan, kedua tujuan ini nyata dibutuhkan sebagai aktualisasi diri manusia guna keberlangsungan hidupnya. Menciptakan karya yang mencerminkan perasaan pembuatnya dan ungkapan gagasan serta karya tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan praktis, menurut saya adalah hal yang baik.

Dalam pembelajaran seni rupa, materi seperti gambar bentuk, desain/nirmana, kria merupakan mata kuliah praktek yang bertujuan untuk melatih kepekaan rasa estetika. Peserta didik memulai prosesnya dengan mengamati lingkungan sekitar, kemudian hasil pengamatan tersebut masuk ke dalam otak untuk diproses atau diterjemahkan menjadi pengetahuan baru yang juga dipengaruhi oleh memori sebelumnya, selanjutnya hasil dari penerjemahan otak tersebut divisualisasikan dalam bentuk karya rupa. Melalui proses mengamati, peserta didik dilatih kepekaannya untuk merasakan mana bagian yang indah dari kondisi sekitar dan mana yang tidak indah dengan kata lain rasa penilaian estetikanya diasah. Kemudian dalam proses berpikir, peserta didik menggunakan logikanya untuk mendeskripsikan bentuk, ukuran, lalu membandingkan dengan memori yang sudah ada sebelumnya, mengkreasikannya, sehingga terbentuk memori yang baru. Peserta didik kemudian dilatih keterampilannya untuk mengekspresikan hasil pengamatan dan pemikirannya tadi ke dalam bahasa rupa ini berarti melatih kemampuan teknis. Proses-proses inilah yang menjadi alur pembinaan fungsi pikir (cipta), perasaan (rasa) dan keterampilan berkarya (karsa).


Gagasan Pengembangan

            Pelajaran seni bersifat individual, maka cara mengevaluasi hasil belajarnyapun harus tidak sama dengan evaluasi mata pelajaran. Jika diminta untuk mengevaluasi hasil karya seni seperti 2 gambar di bawah, dapat mengacu pada corak/gaya, tema, maksud, analisa bentuk dan warnanya.







            Gambar sebelah kiri:
Dapat dilihat bahwa anak berimajinasi tentang raksasa yang dikepung pasukan liliput. Seingat saya, ada film tentang ini namun saya lupa judulnya. Jadi menurut saya, anak ini mengekspresikan ingatannya tentang film yang baru telah dia tonton. Garis sudah stabil dan menggambarkan figure yang sempurna (anggota tubuh lengkap). Komposisi seimbang dengan mengisi banyak liliput di bagian yang renggang. Namun anak ini terjebak pada pengulangan-pengulangan bentuk liliput (stereo type) dan tidak mengacu pada satu garis dasar yang terlihat pada rumah dan liliput yang arahnya tidak beraturan. Warna sudah bagus namun belum berani bereksplorasi dengan banyak warna. Blok-blok warna sedernaha (untuk menghindari istilah ‘kaku’). Sebaiknya guru lebih memberikan kepercayaan pada anak ini agar lebih berani bereksplorasi.
            Gambar kanan:
Anak ini menggunakan gaya x-ray, dengan mengimajinasikan benda-benda yang berada di dalam benda lain (tembus pandang). Imajinasinya luar biasa dengan memadukan figur-figur dengan penataan sedemikian rupa. Warna-warna yang digunakan lebih berani dan tidak kaku. Namun untuk tema, gambar ini sulit dipahami maksudnya. Gambar gajah berisi manusia dan hiasan-hiasan dekoratif serta ada gambar bulan di sudut kiri atas sulit diketahui tujuannya. Guru lebih baik mendampingi anak ini saat menggambar, menggali informasi tentang gambar, karena biasanya anak ini akan bercerita dengan imajinasi yang juga luar biasa seperti gambarnya.
            Maka jika saya diminta member nilai, saya akan memberi nilai 70 untuk gambar kiri dan 80 untuk gambar kanan. Dengan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kepribadian anak yang menggambar gambar kanan lebih mampu bereksplorasi terhadap pengamatan matanya dan mengembangkannya ke dalam imajinasi yang out of box. Keberaniannya pun sudah baik dalam memadukan garis dan warna. Untuk gambar kiri sudah baik, namun perlu pendampingan lebih terkait keberanian bereksplorasi.

Periodesasi lukisan anak:
1.      Masa coreng moreng (1-4 tahun)
a.       Judul gambar yang berubah-ubah.
Pada periode ini anak masih melatih diri untuk memkoordinasikan garis yang sempurna, garis-garis yang dibuat belum stabil. Taraf pandangan anak masih global. Pikiran dan perasaan masih menyatu, penalaran anak belum stabil sehingga ia menggambarkan apa yang dia rasakan, bukan apa yang ia lihat dalam kondisi sesungguhnya.
b.      Mulai mengidentifikasi objek dengan judul yang mantap.
Seiring dengan perkembangan fisik, anak mulai memahami detail objek yang diamati sehingga bentuk gambar mulai membentuk figur meski belum sempurna, misal: manusia dengan lingkaran kepala dan garis tangan kaki tanpa badan.
2.      Masa prabagan atau Preschematic (4-7 tahun)
Mulai muncul kesadaran anak akan eksistensinya sehingga muncul ego yang terkadang berlebihan. Figur yang dibuat mulai meningkat meski belum banyak memiliki arti. Bentuk figur mulai sempurna dengan ciri fisik benda sebenarnya. Pada masa ini pendampingan sangat penting untuk menambah pengetahuan anak, tapi bukan berarti terlalu mengekang hingga membunuh kreativitas anak.
3.      Masa bagan atau schematic (7-9 tahun)
Pada masa ini anak mulai mengenal prespektif sederhana, baik berupa prespektif rebahan maupun juxta. Beberapa sifat dasar yang muncul yaitu stressing point (ego) dan stereo type (pengulangan).
4.      Masa realisme awal atau Drawing realism (9-11 tahun)
Anak mulai mengenal lingkungan secara detail dan mampu menggambarkannya kedalam goresan. Namun yang perlu diawasi adalah pengungkapan ide dan emosi yang berlebihan. Anak sering mengunggapkan ide berupa cerita yang panjang sehingga gambar saling bertumpuk, guru diharapkan mampu mengendalikan emosi ini.
5.      Masa realisme semu atau Pseudo realism ( 11-14 tahun)
Di masa ini cara berpikir anak sudah realistik. Gambar yang dibuat sudah sesuai dengan figur nyata.



 Terima kasih kepada:
bapak Hajar Pamadhi, MA (Hons) selaku dosen pengampu mata kuliah Konsep Pendidikan Seni

DAFTAR PUSTAKA

Munandar, S.C. Utami. 1985. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Grasindo: Jakarta
Pamadhi, Hajar. 2001. Konsep Pendidikan Seni Rupa. Yogyakarta.
Retnowati, Tri Hartiti. 2010. Membangun Karakter Sisiwa Melalui Pembelajaran Batik di Sekolah. Yogyakarta
-          . 1977. Pendidikan dan Kebudayaan dalam Pembangunan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Website:
Wikipedia Bahasa Indonesia
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/08/20/pendidikan-karakter-di-smp/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar