Setiap
manusia terlahir dengan rasa seni. Secara naluriah setiap manusia melakukan
kegiatan sehari-harinya dengan mempertimbangkan keindahan, keseimbangan, serta
prinsip seni lainnya. Perbedaannya hanya terletak pada kualitas dan bentuknya
saja. Di sinilah diperlukan pendidikan seni sebagai sarana mengasah kepekaan
rasa seni tersebut. Dengan pendidikan seni,
individu dilatih ketajamannya
merasa, mengungkapkan ide/gagasannya ke dalam bahasa visual yang berarti
peningkatan kualitas komunikasi, serta membantu pertumbuhan mental. Pembinaan
cipta, rasa dan karsa yang koheren dengan berbagai bidang kehidupan akan
membantu meningkatkan kualitas diri guna menghadapi tantangan sosial yang
kompleks. Hal-hal tersebut dapat menjadi bekalnya untuk menghadapi tantangan
hidup di masa depan. Tentu saja tidak sekedar mencapai tujuan praktis yang
mungkin bisa didapatkan di sanggar atau pendidikan seni nonformal lainnya.
Namun lebih dari itu, pelajaran seni di sekolah umum/formal harus mampu
membentuk setiap peserta didik menjadi individu yang memiliki kecerdasan dan
emosi yang seimbang, sehingga mampu memberi solusi terhadap permasalahan yang
terjadi di masyarakat.
Penjelasan
tadi kemudian membawa ke sebuah pernyataan, yaitu: “Pendidikan Seni sebagai
bagian integral dari pendidikan, oleh karenanya pengajaran seni tidak bertujuan
mencetak seniman.” Artinya memang pengajaran seni bukan berorientasi pada
pembentukan individu sebagai seniman. Pandangan orang awam selama ini bahwa
pendidikan seni berarti menjadikan setiap peserta didiknya mampu berkarya dan
mampu berkompetisi misalnya menang dalam lomba menggambar. Hal ini malah membuat
kekecewaan pada pendidikan seni karena tidak tercapainya harapan membentuk
individu yang memiliki skill berkarya secara maksimal. Padahal harus dipahami
bahwa pengajaran seni memiliki fungsi lain selain pembentukan skill, yaitu
membentuk keseimbangan kecerdasan, koordinasi otak dan rasa dipadukan
kecerdasan visual, melatih penalaran melalui pengamatan terhadap lingkungan
sekitar sehingga memahami permasalahan secara komprehensif. Jadi, bukan sekedar
mengasah kemampuan berkarya, mencipta, namun mampu menyeimbangkan kecerdasan
dari otak kanan dan kiri berupa kecerdasan emosional, humanistik, rasional, logis
dan sebagainya.
Dikaitkan
dengan pendidikan karakter yang memiliki arti “suatu sistem penanaman
nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan,
kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut,
baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan,
maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil”, maka pendidikan seni
memiliki peran dalam melaksanakan tujuan dalam pembentukan individu yang
berkarakter tersebut. Dengan pembinaan cipta, rasa dan karsa, peserta didik
dilatih untuk peka terhadap kondisi lingkungannya. Secara tidak langsung moral
peserta didik dibentuk, sikap kepedulian terhadap lingkungan dan terbentuk
perilaku yang sadar terhadap permasalahan sekitar, kesabaran, keuletan.
Kemudian mengaplikasikan nilai-nilai positif tersebut dalam kehidupan
sehari-hari sehingga menjadi kebiasaan.
Pada
pengelolaanya, pengajaran seni telah diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan
karakter tersebut. Dapat dilihat dari tujuan pendidikan dalam UU no. 20 tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional, kemudian dalam Permendiknas N0.23/2006 tentang
Standar kompetensi lulusan secara formal sudah digariskan untuk masing-masing
jenis atau satuan pendidikan sejumlah rumusan Standar Kompetensi Lulusan (SKL). substansi nilai/karakter. (BSNP, 2006). Berikut ini
substansi nilai/karakter yang ada pada
setiap SKL tersebut. antara lain: iman dan taqwa, jujur,
disiplin, terbuka,nasionalistik, bernalar, kreatif, peduli, tanggung
jawab, bersih, santun, gotong royong, gigih, bervisi, dan adil.
Implementasi Pendidikan
Seni
Memang,
menjadi keanehan jika lulusan pendidikan seni tidak mampu menghasilakn karya
seni. Maka adalah suatu kewajiban bagi setiap peserta pendidikan seni untuk
menguasai praktek berkarya. Kemampuan ini adalah mutlak. Namun pada
pelaksanaannya, menurut saya, bukanlah
berarti setiap lulusan pendidikan seni harus semata-mata menjadi
peseni/seniman. Tidak melulu bekerja membuat karya berupa lukisan, patung atau
yang lain kemudian dipamerkan atau dijual, namun kemampuan menerapkan ilmu yang
dimiliki dalam bidang lain lebih diutamakan. Pengembangan materi yang telah
didapatkan kemudian diaplikasikan dalam bentuk lain seperti keahlian mengkonsep
(teori), manajemen, kepekaan rasa diaplikasikan ke bidang lain di luar bidang
seni sehingga ilmu tersebut lebih bermanfaat menjadi suatu hal yang lebih
penting.
Terdapat
2 kelompok yang memandang seni dan pelaksanaannya di sekolah umu. Yaitu kaum
fragmatis dan kaum esensialis.
Bagi
kaum fragmatis, seni dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia di berbagai bidang
kehidupan seperti untuk pemenuhan kebutuhan peralatan hidup melalui kria dan
berbagai kemajuan desain, sebagai sarana perkembangan kejiwaan melalui
pembinaan perasaan maupun penalarannya, dan termasuk sebagai pemenuhan
kebutuhan pendidikan. Pandangan disebut L’art pour Engange. Karena itu kaum
fragmatis setuju untuk memasukkan seni ke dalam kurikulum pendidikan, dengan
harapan lewat pendidikan seni dapat dihasilkan SDM yang memiliki skill untuk
mencapai manfaat-manfaat tersebut.
Sedangkan
bagi kaum esensial yaitu orang-orang yang merupakan seniman murni menganggap
bahwa karya seni adalah ekspresi jiwa, tempat mengungkapkan perasaan tanpa ada
latar belakang lain seperti bisnis dan komersial. Seni adalah media untuk
mengungkapkan ide dan gagasan, sebagai sarana mengungkapkan pendapat, sebagai
alat untuk menwujudkan perasaan dan pikiran supaya terlepas dari beban dan
bukannya untuk tujuan-tujuan lain yang berbau keuntungan komersial. Pandangan
esensial ini disebut gagasan seni untuk seni (L’art pour L’art). Maka jika seni
masuk dalam kurikulum pendidikan maka
kaum esensial berharap tidak lebih untuk menciptakan para seniman yang mampu
mengungkapkan diri melalui bahasa rupa.
Menurut
saya, alangkah lebih baik jika kedua pandangan ini digabungkan sehingga manfaat
seni untuk tujuan ekspresi jiwa dan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup dapat
tercapai dan bersinergi dengan baik. Toh dalam kehidupan, kedua tujuan ini
nyata dibutuhkan sebagai aktualisasi diri manusia guna keberlangsungan
hidupnya. Menciptakan karya yang mencerminkan perasaan pembuatnya dan ungkapan
gagasan serta karya tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan praktis,
menurut saya adalah hal yang baik.
Dalam
pembelajaran seni rupa, materi seperti gambar bentuk, desain/nirmana, kria merupakan
mata kuliah praktek yang bertujuan untuk melatih kepekaan rasa estetika.
Peserta didik memulai prosesnya dengan mengamati lingkungan sekitar, kemudian
hasil pengamatan tersebut masuk ke dalam otak untuk diproses atau diterjemahkan
menjadi pengetahuan baru yang juga dipengaruhi oleh memori sebelumnya,
selanjutnya hasil dari penerjemahan otak tersebut divisualisasikan dalam bentuk
karya rupa. Melalui proses mengamati, peserta didik dilatih kepekaannya untuk
merasakan mana bagian yang indah dari kondisi sekitar dan mana yang tidak indah
dengan kata lain rasa penilaian estetikanya diasah. Kemudian dalam proses
berpikir, peserta didik menggunakan logikanya untuk mendeskripsikan bentuk, ukuran,
lalu membandingkan dengan memori yang sudah ada sebelumnya, mengkreasikannya,
sehingga terbentuk memori yang baru. Peserta didik kemudian dilatih
keterampilannya untuk mengekspresikan hasil pengamatan dan pemikirannya tadi ke
dalam bahasa rupa ini berarti melatih kemampuan teknis. Proses-proses inilah
yang menjadi alur pembinaan fungsi pikir (cipta), perasaan (rasa) dan
keterampilan berkarya (karsa).
Gagasan Pengembangan
Pelajaran
seni bersifat individual, maka cara mengevaluasi hasil belajarnyapun harus
tidak sama dengan evaluasi mata pelajaran. Jika diminta untuk mengevaluasi
hasil karya seni seperti 2 gambar di bawah, dapat mengacu pada corak/gaya, tema,
maksud, analisa bentuk dan warnanya.
Gambar
sebelah kiri:
Dapat dilihat bahwa anak berimajinasi tentang raksasa
yang dikepung pasukan liliput. Seingat saya, ada film tentang ini namun saya
lupa judulnya. Jadi menurut saya, anak ini mengekspresikan ingatannya tentang
film yang baru telah dia tonton. Garis sudah stabil dan menggambarkan figure
yang sempurna (anggota tubuh lengkap). Komposisi seimbang dengan mengisi banyak
liliput di bagian yang renggang. Namun anak ini terjebak pada
pengulangan-pengulangan bentuk liliput (stereo type) dan tidak mengacu pada
satu garis dasar yang terlihat pada rumah dan liliput yang arahnya tidak
beraturan. Warna sudah bagus namun belum berani bereksplorasi dengan banyak
warna. Blok-blok warna sedernaha (untuk menghindari istilah ‘kaku’). Sebaiknya
guru lebih memberikan kepercayaan pada anak ini agar lebih berani
bereksplorasi.
Gambar
kanan:
Anak ini menggunakan gaya x-ray, dengan
mengimajinasikan benda-benda yang berada di dalam benda lain (tembus pandang).
Imajinasinya luar biasa dengan memadukan figur-figur dengan penataan sedemikian
rupa. Warna-warna yang digunakan lebih berani dan tidak kaku. Namun untuk tema,
gambar ini sulit dipahami maksudnya. Gambar gajah berisi manusia dan
hiasan-hiasan dekoratif serta ada gambar bulan di sudut kiri atas sulit
diketahui tujuannya. Guru lebih baik mendampingi anak ini saat menggambar,
menggali informasi tentang gambar, karena biasanya anak ini akan bercerita
dengan imajinasi yang juga luar biasa seperti gambarnya.
Maka
jika saya diminta member nilai, saya akan memberi nilai 70 untuk gambar kiri
dan 80 untuk gambar kanan. Dengan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa kepribadian anak yang menggambar gambar kanan lebih mampu bereksplorasi
terhadap pengamatan matanya dan mengembangkannya ke dalam imajinasi yang out of
box. Keberaniannya pun sudah baik dalam memadukan garis dan warna. Untuk gambar
kiri sudah baik, namun perlu pendampingan lebih terkait keberanian
bereksplorasi.
Periodesasi
lukisan anak:
1. Masa
coreng moreng (1-4 tahun)
a. Judul
gambar yang berubah-ubah.
Pada periode ini anak
masih melatih diri untuk memkoordinasikan garis yang sempurna, garis-garis yang
dibuat belum stabil. Taraf pandangan anak masih global. Pikiran dan perasaan
masih menyatu, penalaran anak belum stabil sehingga ia menggambarkan apa yang
dia rasakan, bukan apa yang ia lihat dalam kondisi sesungguhnya.
b. Mulai
mengidentifikasi objek dengan judul yang mantap.
Seiring dengan
perkembangan fisik, anak mulai memahami detail objek yang diamati sehingga
bentuk gambar mulai membentuk figur meski belum sempurna, misal: manusia dengan
lingkaran kepala dan garis tangan kaki tanpa badan.
2. Masa
prabagan atau Preschematic (4-7 tahun)
Mulai
muncul kesadaran anak akan eksistensinya sehingga muncul ego yang terkadang
berlebihan. Figur yang dibuat mulai meningkat meski belum banyak memiliki arti.
Bentuk figur mulai sempurna dengan ciri fisik benda sebenarnya. Pada masa ini
pendampingan sangat penting untuk menambah pengetahuan anak, tapi bukan berarti
terlalu mengekang hingga membunuh kreativitas anak.
3. Masa
bagan atau schematic (7-9 tahun)
Pada
masa ini anak mulai mengenal prespektif sederhana, baik berupa prespektif
rebahan maupun juxta. Beberapa sifat dasar yang muncul yaitu stressing point
(ego) dan stereo type (pengulangan).
4. Masa
realisme awal atau Drawing realism (9-11 tahun)
Anak
mulai mengenal lingkungan secara detail dan mampu menggambarkannya kedalam
goresan. Namun yang perlu diawasi adalah pengungkapan ide dan emosi yang
berlebihan. Anak sering mengunggapkan ide berupa cerita yang panjang sehingga
gambar saling bertumpuk, guru diharapkan mampu mengendalikan emosi ini.
5. Masa
realisme semu atau Pseudo realism ( 11-14 tahun)
Di
masa ini cara berpikir anak sudah realistik. Gambar yang dibuat sudah sesuai
dengan figur nyata.
bapak Hajar Pamadhi, MA (Hons) selaku dosen pengampu mata kuliah Konsep Pendidikan Seni
DAFTAR PUSTAKA
Munandar, S.C. Utami. 1985. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak
Sekolah. Grasindo: Jakarta
Pamadhi, Hajar. 2001. Konsep Pendidikan Seni Rupa. Yogyakarta.
Retnowati, Tri Hartiti. 2010. Membangun Karakter Sisiwa Melalui
Pembelajaran Batik di Sekolah. Yogyakarta
-
. 1977. Pendidikan dan Kebudayaan dalam Pembangunan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Website:
Wikipedia
Bahasa Indonesia
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/08/20/pendidikan-karakter-di-smp/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar