Senja

Selasa, 01 Januari 2013

TAK MASALAH ASAL ENGKAU NANTINYA BERHENTI TERTAWA



Ada yang boleh tertawa melihatku menapaki cabang jalan ini. Membalut sekujur tubuhku dengan kafan panjang. Menutup sebagian wajahku, tanpa senyum, tanpa tatapan. Membalur setiap nafasku dengan sembilan puluh sembilan minyak mutiara. Angin, malam, laut, dan senja. Kata leluhur: hidup adalah pilihan.

Aku bosan dengan cacian. Tertawa sajalah. Aku jengah melihat kau mencibir saat berada sejengkal dari hidungmu, atau di belakang punggungmu. Ya, tertawa saja, saat kuelukan mimpi-mimpi syurga. Tentang sungai, tentang susu, tentang kasturi, tentang cabang-cabang kurma berbuah emas. Atau tentang segenggam bara dan api?


Sebenarnya, aku benar-benar ingin menggandengmu. Mengisi ruang di sela-sela jarimu, berjalan beriringan seperti sepasang kekasih berwajah putih cahaya. Aku ingin mengajakmu berlarian di sisi-sisi taman, seperti kanak-kanak tak lelah di kejar waktu. Aih, di sana kita tidak akan dipersulit waktu. Bermain sesuka hati. Tersenyum-senyum. Hanya peduli pada Langit dan birunya. Hanya peduli pada kita.

Aku hanya ingin bersamamu. Setiap tapak jalan yang kujejaki, aku menoleh padamu. Mengirim pesan agar kau datang, mengirim surat supaya kau hadir, mengirim rindu dalam pendar-pendar cahaya fajar. Tapi rinduku menggumpal. Kau hanya tertawa.

Bagiku tak masalah, asal engkau nantinya berhenti tertawa. Nanti, dalam masa yang tak bisa kujanjikan. Mungkin sejengkal. Atau selautan lamanya. Asal nantinya engkau berhenti tertawa, doaku akan tetap tumpah menghujani ragamu yang lelah.

Aku percaya nantinya kau akan bersamaku menapaki cabang jalan ini. Membalut sekujur tubuhmu dengan kafan panjang. Menutup sebagian wajahmu, tanpa senyum, tanpa tatapan. Membalur setiap nafasmu dengan sembilan puluh sembilan minyak mutiara. Angin, malam, laut, dan senja. Kata leluhur: hidup adalah pilihan.


Sleman, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar