Ada yang boleh tertawa melihatku menapaki cabang jalan ini.
Membalut sekujur tubuhku dengan kafan panjang. Menutup sebagian wajahku, tanpa
senyum, tanpa tatapan. Membalur setiap nafasku dengan sembilan puluh sembilan
minyak mutiara. Angin, malam, laut, dan senja. Kata leluhur: hidup adalah
pilihan.
Aku bosan dengan cacian. Tertawa sajalah. Aku jengah melihat
kau mencibir saat berada sejengkal dari hidungmu, atau di belakang punggungmu.
Ya, tertawa saja, saat kuelukan mimpi-mimpi syurga. Tentang sungai, tentang
susu, tentang kasturi, tentang cabang-cabang kurma berbuah emas. Atau tentang
segenggam bara dan api?
Sebenarnya, aku benar-benar ingin menggandengmu. Mengisi
ruang di sela-sela jarimu, berjalan beriringan seperti sepasang kekasih
berwajah putih cahaya. Aku ingin mengajakmu berlarian di sisi-sisi taman, seperti
kanak-kanak tak lelah di kejar waktu. Aih, di sana kita tidak akan dipersulit
waktu. Bermain sesuka hati. Tersenyum-senyum. Hanya peduli pada Langit dan
birunya. Hanya peduli pada kita.
Aku hanya ingin bersamamu. Setiap tapak jalan yang kujejaki,
aku menoleh padamu. Mengirim pesan agar kau datang, mengirim surat supaya kau
hadir, mengirim rindu dalam pendar-pendar cahaya fajar. Tapi rinduku
menggumpal. Kau hanya tertawa.
Bagiku tak masalah, asal engkau nantinya berhenti tertawa.
Nanti, dalam masa yang tak bisa kujanjikan. Mungkin sejengkal. Atau selautan
lamanya. Asal nantinya engkau berhenti tertawa, doaku akan tetap tumpah menghujani
ragamu yang lelah.
Aku percaya nantinya kau akan bersamaku menapaki cabang
jalan ini. Membalut sekujur tubuhmu dengan kafan panjang. Menutup sebagian
wajahmu, tanpa senyum, tanpa tatapan. Membalur setiap nafasmu dengan sembilan
puluh sembilan minyak mutiara. Angin, malam, laut, dan senja. Kata leluhur:
hidup adalah pilihan.
Sleman, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar