Rumah tanpa jendela
Kenapa tiba-tiba
kaca-kaca rumah kita pecah? Mamak memungutinya, satu persatu serpih, menyapu
debunya. Bapak mengambil papan-papan bekas, memotongnya satu meter-satu meter,
memakunya berjajar. Kasar sekali papan itu. Aku tahu kita tidak punya cukup
uang untuk membeli selembar amplas. Bapak berpeluh duduk menduduki papan
memandangi jendela kita. Aku tahu yang bapak pikirkan.
“Nak, berhentilah
mengeluh tentang hidup. Kamu kan teko. Jangan melulu minta diisi, cobalah
menuang sesekali.”
Mungkin malah kau
tidak tahu kalau mamak sesenggukan di setiap ujung malam. Aku tahu dia tahajud. Pernah suatu hari
kupergoki, dia terkejut. Tapi kemudian dia memelukku, berpesan.
“Nak, berhentilah
mengeluh tentang hidup. Bukankah Tuhan mencipta mata yang dua dan telinga juga
dua biar kamu lebih banyak mendengar dan melihat. Mulutmu satu biar kau tidak
terlalu banyak bicara. Dua buku yang kau baca, untuk satu buku yang kau
tulis...”
Lantai rumah
selalu berdecit tiap kali mamak membenarkan posisi duduk. Aku masih di
pangkuannya, memandangi genteng-genteng yang sering melorot, membuat basah
lantai-lantai kayu yang sekarang jadi keropos. Aku tahu mamak cemas, kurasakan
lewat gemetar tubuhnya. Dia takut kau tak menemukan jalan pulang, kau lupa
tikungan menuju rumah kita.
Atau sebenarnya
kau yang takut?
Takut tidak bisa
makan seperti waktu-waktu dulu. Sepiring
nasi aking yang dicampur air, sepotong tempe benguk dibagi empat. Apa kau takut kelaparan? Atau kau takut
tidak bisa sekolah? Kenapa kau tidak juga percaya pada yang kukatakan?
Ibu, adalah madrasah terbaikmu.
Tapi aku tahu.
Kau lebih suka sekolah di gedung bercat biru dan putih itu. Pagi-pagi memasuki
gerbangnya, menggendong tas warna ungu yang masih baru, tertawa-tawa dengan
teman sebayamu. Kau akan berusaha semampumu untuk duduk di bangku sekolah itu,
demi, dan begitulah tiap pagi kau akan menangis minta didaftarkan ke sekolah
negeri.
Itu bedanya kita.
Sedangkan aku, lebih suka berguru pada ibu, mamak kita.
Rumah kita masih
reot, masih gubuk yang gentengnya melorot, masih lantai kayu yang keropos. Dan
kerja keras bapak masih sama, kasih sayang mamak masih sama, keingintahuanku
masih sama, egomu masih sama.
Tapi itu dulu,
kan?
Waktu kita
sama-sama bersandal jepit menyusuri jalan becek berkoral-koral tajam. Kini
lihatlah sepatuku! Putih bergaris ungu. Kau suka ungu, kan? Ayolah sini, pulang saja! Bapak akan membelikanmu sepatu yang sama
denganku. Atau yang lebih bagus, kalau kau mau.
Aku ingin kau
pulang saja, dik. Kami rindu. Jangan marah cuma gara-gara acara televisi yang
kau suka hari ini tidak tayang, padahal kau sudah mati-matian berlari dan
meminta izin menonton di rumah temanmu. Masa begitu saja kau memilih melempari
kaca-kaca jendela dengan batu. Membuat susah mamak yang kakinya berdarah ketika menyapu dan bapak yang
jadi bingung mau diapakan satu-satunya jendela rumah kita itu.
Tapi rumah kita kini
sudah istana, dik. Lantainya marmer! Tidak ada lagi genteng yang melorot! Tidak
ada lagi lantai yang keropos! Jangan malu buat pulang…
Bukannya kita
satu keluarga? Kita keluarga sejak jendela rumah masih
kaca-kaca buram berlumut, hingga kau memecahkannya. Bahkan kini saat jendela
rumah kita setinggi pohon kersen bersinar-sinar, kita tetap keluarga.
Keluarga
Keluarga
Keluarga
Keluarga?
Tiba-tiba pintu
depan dibuka.
Aku belum bisa
melihat tubuhmu dengan sempurna beberapa detik itu. Silau ya. Karena rumah kita
menghadap timur, dan pagi-pagi begini cahaya matahari selalu bisa membuatku
bangun tanpa memasang alarm.
Beberapa saat
kemudian kau terlihat utuh. Wajahmu terkejut. Sepertinya kau juga baru sadar
bahwa yang berdiri di depanmu itu adalah aku. Agak lama kita terdiam. Aku
mempersilakan duduk. Entah kenapa, aku merasa kau datang bukan untuk pulang
tapi hanya sekedar bertamu, makanya aku tidak memelukmu.
Kau mulai
menjelaskan beberapa hal.
Kau sudah membeli
tanah dan rumah ini, serta telah mengadopsi seluruh anak-anak yang masih lelap
di kamarnya masing-masing pagi-pagi begini. Iya, sepertinya kau juga sudah tahu
sejak lama kalau rumah ini sudah menjadi panti asuhan. Bapak dan mamak yang
memperjuangkannya. Cuma aku tidak tahu kalau kau sekarang begitu kaya.
Tapi anehnya, di
tengah penjelasanmu kau tiba-tiba menangis. Sesenggukan. Seperti mamak di ujung
solat tahajudnya. Lalu kita tidak bedialog apa-apa lagi setelahnya, paling
tidak secara lisan. Tapi kita
saling membaca. Banyak sekali yang terucap lewat matamu.
Kau ingin sekali
berteriak, memecahkan gelas-gelas, atau mengambil sebuah batu lalu kau lempar
ke jendela seperti dulu. Kau
ingin sekali memakiku, mengeluarkan kata-kata marah yang kau pendam sejak
lama. Kau ingin berlari lagi, tidak
ingin menemuiku, menemui mamak, menemui bapak. Kau ingin pergi dari sini.
Tapi kau hanya
menangis.
Berdamailah…
Bukankah indah jika kita
berjalan bersamaan. Kita akan kuat jika kau ada di sini, saat ini. Kenapa
berlari menjauh tersuruk-suruk? Apakah hatimu hujan deras? Bukankah kita sudah
sepakat untuk menangis di masa lampau saja, menangis bersama, tapi setelahnya
kita kita akan tertawa menikmati secangkir coklat hangat sambil bercakap tentang
kemenangan kita hari ini.
Berdamailah…
Aku tahu cita-citamu setinggi
bintang. Kau ingin menjadi sempurna. Tapi menjadi sempurna itu butuh kesabaran.
Iya, iya. Sabar
itu memang sulit.
Menjalaninya tiap hari dengan rasa lapar, kedinginan, kecewa memang sulit. Tapi bukankah lebih sulit menjalani
hidup ini jika kau tidak sabar? Buktinya, meski kau merasa kau telah sempurna
dalam kesendirian, tetap ada yang hilang di sana. Kurang satu. Iya, kan?
Berdamailah…
Jangan selalu meminta dan
menuntut. Jika semua orang telah berubah menjadi peminta dan penuntut, siapa
lagi yang akan memberi dengan ikhlas dan bertanggung jawab tentang yang telah
diusahakannya? Cobalah untuk tsiqoh,
meski itu sulit. Bertahanlah, karena bapak dan mamak sudah mengusahakan yang
terbaik.
Ah, itu hanya nasehat
yang tak ingin kuucapkan. Mungkin kau sebenarnya bisa membaca mataku, tapi
tetap saja itu hanya monolog yang takkan kau mengerti secara utuh. Toh, aku
lebih suka kau memahaminya lewat pengalaman, bukan paksaan. Seperti yang Tuhan
ajarkan tentang menanamkan pemahaman. Butuh bertahun-tahun lamanya untuk
menyelesaikan turunnya tiga puluh juz Al-Quran, padahal jika Dia mau, sekejab saja
sudah cukup.
Sudahlah, sembari kau
mengelap pipimu yang banjir, aku akan naik ke atas. Aku yakin masih ada kamar
kosong di sana, di sebelah perpustakaan kecil yang dibuat bapak sejak dua tahun
lalu. Akan kubersihkan kamar
itu. Memilihkan beberapa bantal dan selimut yang masih bagus, menatanya.
Memasang tirai pada jendela-jendela rumah kita. Oh ya, kau mau tirai yang warna
apa? Violet?
***
keren..!
BalasHapus:)
kalimat2nya bermakna..
sedih tp keren..
:D
..,..!
BalasHapus