Senja

Rabu, 28 Agustus 2013

Madu dan Kurma


Kuamati lagi pintu tokonya yang kecoklatan. Hening. Masih hening. Garasi yang biasanya ia buka pagi-pagi masih rapat terkunci. Si Gadis Kurma tepat lima hari tidak menampakkan diri. Tapi ini bukan jadwal mudik.

Desas desus ku dengar ia pulang ke Lombok, meneruskan toko Kurma warisan ayahnya. Pun menjaga ibunya yang sudah sakit-sakitan. Katanya ia sudah bosan berdagang di tepian Musi. Selain sepi pembeli, orangnya pun sulit diajak beramah tamah. Tapi aku tidak percaya. Dia masih punya janji yang harusnya lebih penting dari sepotong warisan.


Atau dari sumber yang lain kudengar ia merantau ke negeri lain. Tanpa meninggalkan alamat. Aku tahu dia seorang yang teguh, takkan berhenti menapaki bumi yang lain hingga berhasil menuai kesuksesan. Tapi bukan sekarang. Setelah apa yang terjadi, aku tidak yakin ia akan pergi merantau lagi dalam waktu dekat.

Ada juga ku dengar, gosip yang sering didengungkan ibu-ibu tukang sayur. Gadis sejatinya sedang patah hati. Kali ini aku mengiyakan. Tapi untuk alasan yang berbeda. Ibu-ibu bilang, Gadis ditinggal menikah kekasihnya, tepat disaat janji pertunangan sudah disepakati. Laki-laki itu berkeluarga mapan, tidak sudi menerima mantu perantauan. Gadis Lombok, penjual kurma.

Aku miris.

Aku tidak bisa mengelak dengung lebah kali ini. Seumur hidup aku mencintai lebah, karena dari sarang-sarangnya yang segi enam aku dapat penghidupan.  Aku menuang tetes demi tetes nira hewan kecil itu demi asap tungku tetap mengepul. Aku mencintai lebah lebih dari apapun. Tapi tidak kali ini. Dengungan lebah kali ini membuatku menyadari aku lebih mencintai Gadis daripada lebah manapun. Termasuk lebah-lebah penggosip ini.

Madu mereka pahit. Kebenaran pahit yang harus aku telan. Gadis Kurma patah hati.

Enam puluh hari penuh aku seperti mesin telepon umum di ujung Ampera. Tanpa koin, menjadi tempat ia menyampaikan lara yang sebenarnya tidak ditujukan padaku. Ia yang sedikit bicara, pendiam, hanya beberapa kali mengutarakan rasa sakitnya, tanpa sedikitpun memandangku. Ah, aku tahu aku hanya mesin telepon umum di ujung Ampera. Tak peduli pesan yang ia sampaikan bukan untukku, asal aku genap menjalankan tugasku. Teman berdagang dengan toko bersebelahan.

Enam puluh hari yang membuahkan rindu. Aku tidak ingat pasti, siapa diantara kami yang duluan membuka harapan-harapan semu. Yang aku ingat, hanya ia yang akhirnya memohon padaku.

“Selarian merarik, Abang. Biarkan aku menghilang dari asal maupun rantauku. Takkan ada mesejati atau apapun juga, biarlah... Asal aku ikut Abang...”

Sore itu aku seperti di serang segerombol lebah madu, aku ingin terjun ke Musi agar lebah-lebah berhenti mengejarku. Tapi yang di dalam hati sudah melepuh tanpa disengat.

Awalnya aku melambung karena cintaku berbalas, setelah dua tahun hanya menjadi  teman berdagang dengan toko bersebelahan, aku berbunga-bunga. Tapi tepat dua detik setelahnya cintaku padam menyisakan legam arang. Karena dua alasan saja.

Pertama, entah nasib sial apa yang sedang menimpaku hingga aku mendapatkan cinta dalam kondisi derita begini. Gadis Kurma ditinggal menikah pangerannya, lalu kuselamatkan? Apa hebatnya?

Kedua, entah nasib sial apa yang sedang menimpa Gadis hingga dia meminta cinta dari laki-laki yang berstatus bekas sepertiku. Gadis harusnya mendapat perjaka, pangeran berkuda putih. Bukan duda yang ditinggal mati istrinya.

Dengan jiwa yang dikuat-kuatkan kusampaikan kedua alasan tadi. Di kalimat terakhir, hening membekukan Musi, bahkan tak terdengar riak-riak yang biasanya gemericik. Gadis menatap kosong lampu Ampera yang mulai dinyalakan, seperti biasanya.

Aku tidak tahan dalam kebekuan ini, maka kuucapkan kalimat penutup yang terpikirkan olehku,

“Dalam tradisi Abang, tiada mulia gadis yang mendapat duda. Maafkan Abang yang menambah pelik lara hatimu, yang mempersulit pilihanmu. Tapi begitulah cinta. Kita takkan pernah mengerti alasannya menyakiti. Entah untuk mendewasakan, atau hanya menertawakan. Ya, menertawakan kepengecutan kita. Biarlah, terserah cinta akan membawa kita kemana. Abang serahkan pilihan pada Gadis. Terhitung enam hari dari sekarang, tiket kereta akan membawa Abang pulang sendirian, atau bersamamu...”

Hening lagi. Tapi tak kubiarkan lama. Aku segera beranjak meninggalkan ia. Meninggalkan pilihan sulit yang mungkin membuatnya memilih untuk hilang dari muka bumi selamanya.

Benar saja.

Maka lima hari sejak saat itu aku hanya sendirian melewati hari di antara gemericik Musi dan deru mesin kapal. Membiarkan matahari terbit tanpa menyapa Kurma, dan mempersilahkan ia terbenam tampa berpamitan.

Semuanya berulang, seperti siklus putik kurma hingga menjadi buah sempurna.

Tapi derit lantai kayu di hari ke enam perlahan membuatku mempercayai keajaiban. Benar saja. Ia di sana, berdiri di belakangku sejak beberapa detik lalu. Menunduk, dan hening. Seperti biasanya. Aku menyiapkan seribu wajah yang akan kupilih salah satu, menyesuaikan tanggapannya terhadap pertanyaan pertamaku.

“Kenapa kau kembali...?” Bisikku.

Ia terus menunduk, lengkap sudah jawaban yang ku minta tanpa dia harus berkata. Tapi akhirnya ia bicara.

Maaf membuat Abang bingung... Tap... ehmm... Abang tahu alasan kenapa Gadis sulit memutuskan. Tapi... Gadis sudah memutuskan... Gadis ikut Abang...”

Aku tahu ia masih menunduk.

Riak-riak kecil sungai Musi senja ini terdengar gemericik. Tapi hening sekali. Tak biasanya kapal-kapal nelayan singgah ke tepian masih sore begini. Atau mungkin sejenis firasat.

Aku masuk terburu-buru ke dalam toko, mengemasi beberapa botol madu ke dalam kantong plastik. Tidak banyak, tapi cukup. Lalu keluar lagi.

“Jangan begitu. Jangan terbebani dengan apapun. Jiwa yang besar akan mudah merelakan janji yang semestinya ditagih. Tidak semua cinta harus dibayar hal yang sama. Gadis datang sore ini saja sudah cukup. Jangan melakukan pengorbanan yang lebih besar lagi. Abang takut tidak bisa membayarnya. Sekarang biar Abang juga menyelesaikan janji Abang. Ini madu terbaik dari toko Abang...” ku letakkan bungkusan itu di atas kardus. Di hadapannya yang masih tertunduk.

Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku katakan. Mungkin ini adalah kali kedua aku merasa ada rongga yang menganga dalam hati. Ku sentuh perlahan. Ah, ini paru, bukan hati. Ku tarik nafas perlahan, aku tidak mau asma ku kambuh di saat begini.

Segera ku kemasi sisa dagangan yang masih di luar. Memasukkannya ke dalam toko, lalu mengunci. Hening mencipta kegugupan yag luar biasa. Hingga yang terdengar hanya derit lantai kayu dan hembusan nafasku yang tidak teratur.

Tak banyak berpikir, segera kutinggalkan tepian Musi yang mulai menjingga. Dari kejauhan mulai terdengar suara diesel dihidupkan. Lampu-lampu satu persatu menyala benderang. Ampera mulai bercahaya.

Sempat kuberanikan diri untuk sejenak melihat punggungnya yang berguncang terisak. Selebihnya aku merasa jadi pecundang. Hanya mampu memainkan kunci toko di tangan kiriku yang semakin dingin gemetar. Malam ini juga akan ku kembalikan kepada Haji Fuad. Janjiku yang terakhir untuk mengembalikan semua hak tokonya sebelum aku meninggalkan tanah Sriwijaya.


Mari kita saling melupakan.

1 komentar:

  1. Gadis lombok penjual kurma di tanah sriwijaya...unik dan langka.
    hehe
    satu hal baru dari sekian banyak gadis lombok yang lebih memilih menetap di tanah kelahirannya daripada merantau atau berlama-lama di bumi orang. Kecuali, si gadis adalah interpretasi si penulis :-)

    *Like

    Ah, lombok...pulau dengan cerita sederhana itu

    BalasHapus