Senja

Sabtu, 08 Februari 2014

Sama


Aku menggigil lagi. 

Terhitung sudah dua puluh tiga kali aku yang menunggunya di depan cafe ini jam sepuluh malam dan hujan. Menggigil ditelan atmosfer kutub. Padahal ini negara tropis.

Aku menghela napas berkali-kali. Aku bisa saja marah, tapi beruntung cuaca seperti ini selalu berhasil meredam amarah. Bahkan untuk sekedar membalas sms-nya dengan kata-kata tegas saja aku enggan. Mungkin inilah alasan dia memilih waktu dan tempat seperti ini untuk bertemu, agar hilang marahku, agar aku tetap menjadi putri yang manis, bukan seekor naga yang siap menyemburkan api.

Aku selalu tidak bisa marah karena dingin hujan seperti ini. Atau..? Mungkin karena perasaan lain?


Seseorang berlari mendekatiku, membawa payung.

“Hei, aku kan sudah bilang, pakai jaket! Tidak bisakah kau mendengarku sekali saja?” gertaknya. Ah, anehnya selalu begini. Dia selalu berhasil marah duluan, seolah aku lebih bersalah dibanding membiarkan seorang perempuan menungguinya di tengah hujan kedinginan. Aku hanya tersenyum.

“Hmmm.... sudahlah. Aku sudah berpikir, sebaiknya kamu keluar dari redaksi majalah itu. Jadwalmu benar-benar kacau sejak masuk ke sana. Kamu harusnya mencari pekerjaan lain yang lebih bersahabat!”

Padahal belum genap sebulan aku mendapat pekerjaan baru ini. Tidak tahukah dia kalau ini posisi yang selama ini aku inginkan. Redaksi kolom sastra di majalah yang selama ini aku impikan. Setelah dua tahun statusku hanya sebagai penulis lepas. Aku hanya menghela nafas, lalu mengajaknya masuk. Dia menggangguk.

“Jadwalmu yang dulu lebih cocok kan? Kita bisa ketemu setiap pagi. Lebih luang. Lebih santai. Aku heran dengan redaksi itu. Kenapa kau harus mendapat shift malam. Jam 9? Aih, mana ada bos yang membiarkan karyawan perempuannya pulang malam. Besok aku ke sana saja. Aku akan cek. Jangan-jangan bos mu itu sengaja ngerjain kamu. Mana ada redaksi yang kerja lembur terus sampai malam? Benar-benar aturan bodoh. Jelas berdampak pada kita, kan? Jam 10, kita hanya punya waktu luang jam 10 malam dalam sehari. Aku benar-benar tidak suka. Dan...Hei! Kenapa kamu selalu bersikeras untuk menungguku di luar? Ayolah Tiana... Kamu bisa menungguku di dalam sambil memesan coklat hangat. Minimal, jangan bertindak bodoh menungguku di tengah hujan seperti tadi...” dia tidak berhenti bicara bahkan sampai seorang pelayan memberikan daftar menu.

Aku menganggap dia hanya bercanda. Bagaimanapun, aku hanya bisa menanggapinya dengan senyuman. Senyuman paling manis. Mana mungkin aku lupa pada sepenggal puisi itu.

                Hai, gadis hujan
angin mengenalkanku padamu
maka senja ini kubawakan payung
berharap kau adalah rinai yang sabar menunggu
aku datang dalam bintang-bintang

Malam ini aku yang akan memberinya kejutan. Buku kami hampir selesai. Aku benar-benar menunggu momen yang tepat untuk menunjukkan desain cover-nya. Ini akan jadi malam spesial, malam yang akan jadi waktu terwujudnya mimpi itu.

“ Oh ya, Tiana. Ini benar-benar hari yang buruk!”

Buruk?

“Aku kehilangan proyek besar. Aku yakin sekali dengan klien-ku yang satu ini. Semua sudah kuupayakan agar hasilnya maksimal, bahkan sampai pengecekkan terakhir kulibatkan dia. Tapi sialnya, proses cetak malah bermasalah. Aku salah perhitungan. Jumlah halaman dalam bukunya salah. Benar-benar sial. Dia membatalkan sisa tender, padahal itu baru 45% cetak. Benar-benar tidak masuk akal. Padahal aku sudah menjanjikan untuk mengganti semua yang rusak. Aku... Ah! Aku benar-benar tidak habis pikir, bagaimana bisa ada penulis yang sangat egois begitu!”

Deg.

Tahukah? Dia baru saja menghilangkan mood-ku untuk menceritakan tentang buku kami. Padahal aku sengaja membuat kejutan. Aku sengaja menggunakan jasa editing dan percetakan lain hanya demi membuatnya terkejut. Padahal aku membayangkan ekspresinya yang tidak menyangka dan... ya terharu karena aku telah mewujudkan mimpi kami. Tapi itu beberapa menit lalu. Sekarang aku benar-benar yakin untuk batal menceritakannya.

Malam terus berlanjut. Dua cangkir mocca sudah ada di depan kami masing-masing, mengeluarkan aroma manis. Jariku berputar-putar di atas bibir cangkir, merasakan hangatnya uap yang mengalir bersama embun. Embun hangat itu menempel di jari-jari ku. Aku ingin sekali melepas pandanganku dari permukaan mocca yang berbusa ini. Tapi aku bosan. Rinai hujan di balik jendela sudah menjadi objek perhatianku selama delapan hari, tapi terasa delapan tahun. Band cafe yang melantunkan melodi-melodi harmonis di panggung kecil itu sudah jadi objek tatapanku selama sembilan hari, tapi terasa sembilan tahun. Sisanya, sudah kusibukkan dengan daftar menu yang kubaca berulang kali sampai hafal. Aku tidak tahu sampai kapan itu akan berlangsung. Kebosanan ini. Sedangkan dia sudah membuka laptopnya.

“Oh, aku lupa tentang pesanan katalog produk yang dikirim lewat email. Astaga! Klien mengirim ini sejak dua hari yang lalu. Bodohnya aku! Semoga dia tidak marah. Kau tahu? Ini bisa jadi hanya pesanan kecil. Tapi jika aku berhasil, ini bisa berubah menjadi peluang yang sangat besar. Pria yang jadi klien ku ini adalah kepala cabang produk bermerk yang sangat terkenal. Nah ini!” Dia memegang jam tangan di pergelangan tanganku. “Ini salah satu produk mereka. Ini akan jadi peluang besar. Karena jika dia terkesan, mungkin saja dia akan menjadi pelanggan tetap.  Dan kau tahu? Itu berarti proyek yang sangat besar dan berkelanjutan!”

Aku menguap. Tapi aku yakin dia tidak melihatku. Matanya hanya berpindah beberapa detik dari laptop ke jam tangan lalu kembali ke laptop. Aku pikir, aku tidak boleh terlalu pasif begini. Tidak ada salahnya mencoba untuk menjadi es krim cair diantara kebekuan gunung salju ini. Kucoba menanyakan beberapa hal tentang pemasaran lewat website. Kudengar sarana ini jadi peluang bisnis yang sangat besar. Dengan mudah kita bisa berinteraksi dengan calon konsumen tanpa hambatan berarti. Artinya, perluasan pangsa pasar pun semakin mudah. Aku sedikit bercanda, kondisi internet saat ini tentu jauh berbeda dengan saat kita dulu yang hanya bisa menggunakan blog dengan theme terbatas. Ah, kata-kataku barusan mengusik kenangan tujuh tahun silam. Kuberanikan diri untuk bertanya, kenapa dia tidak lagi aktif menulis blog?

“Haha... Jujur saja Tiana. Aku masih menulis. Tapi aku tidak fokus ke blog. Seperti yang kamu tahu, aku hanya punya waktu luang sedikit sekali. Bahkan untuk bersamamu saja kita perlu menunggu hingga jam sepuluh malam. Rasanya tidak adil kalau di tengah kondisi seperti ini aku malah sibuk dengan blog yang hanya sebagai kesenangan pribadi saja. Aku tahu, aku harus memprioritaskan yang lebih penting.”

Aku baru saja patah hati. Aku yakin sekali. Tapi aku tidak tahu kenapa. Mungkin karena mocca ini terlalu pahit. Mungkin pelayan lupa memberi gula atau susu. Mungkin. Atau karena band cafe itu sudah berhenti memainkan musiknya. Mungkin saja. Kupandangi detik jam yang kini menunjuk angka 10.32, hampir. Baru setengah jam ya? Tapi sepertinya cafe sudah mau tutup. Pelayan sudah membersihkan meja-meja di sekitar kami. Hanya tiga meja yang masih terisi.

Lengang. Aku tidak tahu, kenapa malam ini terasa begitu sepi.

“Sepertinya cafe malam ini tutup lebih cepat, Tiana. Aneh ya. Memang ini hari apa? Benar-benar tidak bagus. Bisnis seperti ini aku yakin tidak akan berjalan lama. Kalau jam tutup toko saja mereka tidak punya jadwal pasti. Sebaiknya setelah ini kita cari tempat lain. Tidak masalah kalau harus cari yang lebih mahal. Aku pernah melihatnya hanya beda dua blok dari sini. Aku pikir itu manis sekali, desainnya warna oranye lembut. Aku pernah membuatkan desain seperti itu untuk seorang klien-ku. Tapi itu sudah lama sekali. Waktu itu aku belum paham bisnis. Aku pasang harga standar, aku pikir itu sudah mahal. Tapi ternyata jauh sekali. Aku bisa mendapat lebih dari itu. Bodoh sekali. Harusnya aku konsultasi dulu dengan orang lain yang lebih tahu. Penyesalan memang cuma ada di belakang. Aku pernah datang ke klien itu lagi. Tapi dia sama sekali tidak menyinggung tentang harga desain yang terlalu murah. Menyebalkan. Ya... mau bagaimana lagi. Aku tidak mungkin menuntut karena sudah ada perjanjian hitam di atas putih...”

Maaf Galih, entah kenapa malam ini aku benar-benar merasa jadi kotak sampah.

***

“Apa?? Kalian putus??”

Aku menggangguk.

“Tiana sayang... aku gak habis pikir. Apa sih yang ada di dalam kepalamu ini?” Lira menempelkan kedua tanggannya di pipiku, menekannya hingga membuat bibirku monyong. “Tiana cantik... Selamat! Kau baru saja melepaskan pangeran paling romantis di seluruh dunia!”. Tepat setelah mengucapkan kata ‘dunia’, Lira berbalik, mengambil cangkir kopi susu di meja lalu meminumnya.

Romantis?

Aku kehilangan kemampuanku dalam menerjemahkan kata-kata. Ah, romantis? Apa definisi dari kata ‘romantis’? Apa artinya? Aku memandang sekeliling, berharap di kamar kos Lira ini terdapat Kamus Besar Bahasa Indonesia. Aku benar-benar lupa –atau mungkin memang tidak tahu- apa yang dimaksud dengan ‘romantis’!

Lira menatapku sambil meletakkan cangkir kosongnya ke meja. Lagi.

“Kamu akan menyesal! Bayangkan! Enam tahun kalian saling kenal yang hanya mampu saling bertukar rasa lewat tulisan. Terpenjara dalam ruang maya. Mencinta dalam gelap. Kagum pada sisi romantis masing-masing. Lalu satu tahun belakang seperti mimpi barulah kalian dipertemukan dalam hubungan nyata! Oh Tiana sayang, aku benar-benar tidak mau bilang kalau kamu itu bodoh banget...” Lira mencubit pipiku.

Aku tidak tahu apakah perlu pembelaan. Aku hanya merasa ada yang janggal dengan kata ‘romantis’ yang disebutkan Lira berkali-kali. Aku terdorong untuk menjelaskan, aku tidak bisa tahan. Akhirnya aku menjelaskan bahwa Galih tidak romantis sama sekali! Kau tidak akan membayangkan seorang pangeran tampan membiarkan kekasihnya menunggu kedinginan setiap malam hanya untuk dijadikan kotak sampah.  Marah-marah tiap hari hanya karena alasan sepele seperti jaket dan kancing baju. Kekasih mana yang tega membiarkan perempuannya menunggu lebih dari dua jam hanya untuk menjadi teman minum kopi. Atau telpon-telpon yang mengekang itu. Atau jadwal rutin yang seolah rutinitas pelatihan prajurit TNI itu...

Tiana menatapku tak percaya. Aku seolah membaca dari matanya dia mengatakan “Kamu mengada-ada!”.

“Tiana! Kamu gak serius, kan? Mengada-ada banget!”. Ah, tepat! “Seorang Galih gak mungkin kayak gitu...”

Aku menjelaskan lagi semampu yang aku tahu. Aku benar-benar hanya menceritakan yang aku tahu, tanpa mengurangi apalagi menambah. Aku hanya merasa kehilangan dia yang kukenal sejak tujuh tahun lalu. Tulisan-tulisannya, puisinya tentang hujan dan payung, penggalan prosanya yang berubah menjadi melodi merdu yang selalu menemani senjaku. Aku kehilangan dia. Aku kehilangan Galih yang kukenal di dunia maya itu. Aku kehilangan.

Lira tidak tahu. Tiga bulan belakangan kubuka lagi tulisan-tulisannya sejak kami pertama kenal. Tentang buah apel dan sekotak wafer yang dikirimnya pada gadis hujan,  itu aku. Tentang bibit anggrek yang warna bunganya pun dia tidak tahu, anggrek itu masih di kamarku. Tentang puisi bodoh yang aku terima di pameran lukisan tiga tahun lalu, kertas itu benar-benar masih kusimpan.  Tentang pantai  yang ombaknya menelan ranting-ranting, foto-foto itu. Tentang hujan dan payung... Aku membuka kembali semua tulisannya. Berharap someone  yang selalu jadi objek dalam tulisannya itu benar-benar bukan aku. Atau... aku berharap, memang bukan dia yang menulis semua itu. Aku harap itu memang orang lain.

Galih berbeda dari apa yang kukenal selama ini.

“Tiana... Berhentilah... Aku tidak tahu apa-apa. Aku hanya temanmu yang hanya bisa melihat dari jauh. Aku tidak mengenal Galih. Sungguh, meski kita pernah satu sekolah saat SMP...”

Aku kosong. Aku takut kalau aku ini juga bukan aku.

“Tapi... Tiana. Kau harus ingat satu hal. Kita mungkin menjadi dua atau tiga orang yang berbeda. Kita mengenal seseorang sebagai ‘sesuatu’ tapi ternyata ada sifat lain yang dimiliki. Kita bisa jadi berlaku sebagai seseorang tapi pada saat yang sama kita adalah orang lain...”

Aku benar-benar takut. Aku ini siapa?

“Tiana... Kita seharusnya mampu menerima semua sisi itu. Perbedaan yang mungkin tanpa kita sadari. Bukankah bumi dicipta dari tanah sebagai pelengkap langit yang menurunkan hujan? Laut takkan menjadi indah tanpa pantai yang kau injak. Pun, samudra yang tenang takkan menunjukkan keindahannya jika saat menyelam kau malah tenggelam...”

Lira... hina-lah aku, kalau aku menjadi seseorang yang tidak mampu menerima perbedaan itu. Aku hanya menginginkan Galih yang dulu. Galih yang kukenal lewat puisi, lewat syair, lewat melodi. Galih yang membuatku punya alasan untuk menulis semua kerinduan, cinta, melankolis, bahkan romantisme. Aku mencintainya karena kesamaan itu. Aku hanya membayangkan satu tahun ini berjalan dengan hal yang sama. Puisi, syair, melodi. Semua harusnya sama, yang jadi pembeda hanya dulu kami duduk menghadap laptop masing-masing, tapi kini kami berada dalam satu meja yang sama. Semua harusnya sama.

“Tidak seperti itu! Tiana... Cinta bukan karena kalian selalu  sama. Bukan karena puisi, syair maupun prosa. Tiana, sadarlah! Kalian sedang menjalani kehidupan sepasang kekasih, dan bukan sedang membuat komunitas menulis!”

Deg.

Aku...

Aku...

Iya. Aku memang bukan mencari kekasih...
Aku hanya sedang...


Membuat Komunitas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar