Aku menggigil lagi.
Terhitung sudah dua puluh
tiga kali aku yang menunggunya di depan cafe ini jam sepuluh malam dan hujan.
Menggigil ditelan atmosfer kutub. Padahal ini negara tropis.
Aku menghela napas berkali-kali. Aku bisa saja
marah, tapi beruntung cuaca seperti ini selalu berhasil meredam amarah. Bahkan
untuk sekedar membalas sms-nya dengan kata-kata tegas saja aku enggan. Mungkin
inilah alasan dia memilih waktu dan tempat seperti ini untuk bertemu, agar
hilang marahku, agar aku tetap menjadi putri yang manis, bukan seekor naga yang
siap menyemburkan api.
Aku
selalu tidak bisa marah karena dingin hujan seperti ini. Atau..? Mungkin karena
perasaan lain?
Seseorang berlari mendekatiku, membawa payung.
“Hei, aku kan sudah bilang, pakai jaket! Tidak
bisakah kau mendengarku sekali saja?” gertaknya. Ah, anehnya selalu begini. Dia
selalu berhasil marah duluan, seolah aku lebih bersalah dibanding membiarkan
seorang perempuan menungguinya di tengah hujan kedinginan. Aku hanya tersenyum.
“Hmmm.... sudahlah. Aku sudah berpikir,
sebaiknya kamu keluar dari redaksi majalah itu. Jadwalmu benar-benar kacau
sejak masuk ke sana. Kamu harusnya mencari pekerjaan lain yang lebih
bersahabat!”
Padahal belum genap sebulan aku mendapat
pekerjaan baru ini. Tidak tahukah dia kalau ini posisi yang selama ini aku
inginkan. Redaksi kolom sastra di majalah yang selama ini aku impikan. Setelah
dua tahun statusku hanya sebagai penulis lepas. Aku hanya menghela nafas, lalu
mengajaknya masuk. Dia menggangguk.
“Jadwalmu yang dulu lebih cocok kan? Kita bisa
ketemu setiap pagi. Lebih luang. Lebih santai. Aku heran dengan redaksi itu.
Kenapa kau harus mendapat shift malam. Jam 9? Aih, mana ada bos yang membiarkan
karyawan perempuannya pulang malam. Besok aku ke sana saja. Aku akan cek. Jangan-jangan
bos mu itu sengaja ngerjain kamu. Mana ada redaksi yang kerja lembur terus
sampai malam? Benar-benar aturan bodoh. Jelas berdampak pada kita, kan? Jam 10,
kita hanya punya waktu luang jam 10 malam dalam sehari. Aku benar-benar tidak
suka. Dan...Hei! Kenapa kamu selalu bersikeras untuk menungguku di luar? Ayolah
Tiana... Kamu bisa menungguku di dalam sambil memesan coklat hangat. Minimal,
jangan bertindak bodoh menungguku di tengah hujan seperti tadi...” dia tidak
berhenti bicara bahkan sampai seorang pelayan memberikan daftar menu.
Aku menganggap dia hanya bercanda.
Bagaimanapun, aku hanya bisa menanggapinya dengan senyuman. Senyuman paling
manis. Mana mungkin aku lupa pada sepenggal puisi itu.
Hai,
gadis hujan
angin mengenalkanku padamu
maka senja ini kubawakan payung
berharap kau adalah rinai yang sabar menunggu
aku datang dalam bintang-bintang
angin mengenalkanku padamu
maka senja ini kubawakan payung
berharap kau adalah rinai yang sabar menunggu
aku datang dalam bintang-bintang
Malam ini aku yang akan memberinya kejutan.
Buku kami hampir selesai. Aku benar-benar menunggu momen yang tepat untuk
menunjukkan desain cover-nya. Ini akan jadi malam spesial, malam yang akan jadi
waktu terwujudnya mimpi itu.
“ Oh ya, Tiana. Ini benar-benar hari yang
buruk!”
Buruk?
“Aku kehilangan proyek besar. Aku yakin sekali
dengan klien-ku yang satu ini. Semua sudah kuupayakan agar hasilnya maksimal,
bahkan sampai pengecekkan terakhir kulibatkan dia. Tapi sialnya, proses cetak
malah bermasalah. Aku salah perhitungan. Jumlah halaman dalam bukunya salah.
Benar-benar sial. Dia membatalkan sisa tender, padahal itu baru 45% cetak.
Benar-benar tidak masuk akal. Padahal aku sudah menjanjikan untuk mengganti
semua yang rusak. Aku... Ah! Aku benar-benar tidak habis pikir, bagaimana bisa
ada penulis yang sangat egois begitu!”
Deg.
Tahukah? Dia baru saja menghilangkan mood-ku untuk menceritakan tentang buku
kami. Padahal aku sengaja membuat kejutan. Aku sengaja menggunakan jasa editing
dan percetakan lain hanya demi membuatnya terkejut. Padahal aku membayangkan
ekspresinya yang tidak menyangka dan... ya terharu karena aku telah mewujudkan
mimpi kami. Tapi itu beberapa menit lalu. Sekarang aku benar-benar yakin untuk
batal menceritakannya.
Malam terus berlanjut. Dua cangkir mocca sudah
ada di depan kami masing-masing, mengeluarkan aroma manis. Jariku
berputar-putar di atas bibir cangkir, merasakan hangatnya uap yang mengalir
bersama embun. Embun hangat itu menempel di jari-jari ku. Aku ingin sekali
melepas pandanganku dari permukaan mocca yang berbusa ini. Tapi aku bosan.
Rinai hujan di balik jendela sudah menjadi objek perhatianku selama delapan
hari, tapi terasa delapan tahun. Band
cafe yang melantunkan melodi-melodi harmonis di panggung kecil itu sudah jadi
objek tatapanku selama sembilan hari, tapi
terasa sembilan tahun. Sisanya, sudah kusibukkan dengan daftar menu yang
kubaca berulang kali sampai hafal. Aku tidak tahu sampai kapan itu akan
berlangsung. Kebosanan ini. Sedangkan dia sudah membuka laptopnya.
“Oh, aku lupa tentang pesanan katalog produk
yang dikirim lewat email. Astaga! Klien mengirim ini sejak dua hari yang lalu.
Bodohnya aku! Semoga dia tidak marah. Kau tahu? Ini bisa jadi hanya pesanan
kecil. Tapi jika aku berhasil, ini bisa berubah menjadi peluang yang sangat
besar. Pria yang jadi klien ku ini adalah kepala cabang produk bermerk yang
sangat terkenal. Nah ini!” Dia memegang jam tangan di pergelangan tanganku.
“Ini salah satu produk mereka. Ini akan jadi peluang besar. Karena jika dia
terkesan, mungkin saja dia akan menjadi pelanggan tetap. Dan kau tahu? Itu berarti proyek yang sangat
besar dan berkelanjutan!”
Aku menguap. Tapi aku yakin dia tidak melihatku.
Matanya hanya berpindah beberapa detik dari laptop ke jam tangan lalu kembali
ke laptop. Aku pikir, aku tidak boleh terlalu pasif begini. Tidak ada salahnya
mencoba untuk menjadi es krim cair diantara kebekuan gunung salju ini. Kucoba
menanyakan beberapa hal tentang pemasaran lewat website. Kudengar sarana ini
jadi peluang bisnis yang sangat besar. Dengan mudah kita bisa berinteraksi
dengan calon konsumen tanpa hambatan berarti. Artinya, perluasan pangsa pasar
pun semakin mudah. Aku sedikit bercanda, kondisi internet saat ini tentu jauh
berbeda dengan saat kita dulu yang hanya bisa menggunakan blog dengan theme
terbatas. Ah, kata-kataku barusan mengusik kenangan tujuh tahun silam.
Kuberanikan diri untuk bertanya, kenapa dia tidak lagi aktif menulis blog?
“Haha... Jujur saja Tiana. Aku masih menulis. Tapi
aku tidak fokus ke blog. Seperti yang kamu tahu, aku hanya punya waktu luang
sedikit sekali. Bahkan untuk bersamamu saja kita perlu menunggu hingga jam sepuluh
malam. Rasanya tidak adil kalau di tengah kondisi seperti ini aku malah sibuk
dengan blog yang hanya sebagai kesenangan pribadi saja. Aku tahu, aku harus
memprioritaskan yang lebih penting.”
Aku baru saja patah hati. Aku yakin sekali.
Tapi aku tidak tahu kenapa. Mungkin karena mocca ini terlalu pahit. Mungkin
pelayan lupa memberi gula atau susu. Mungkin. Atau karena band cafe itu sudah
berhenti memainkan musiknya. Mungkin saja. Kupandangi detik jam yang kini
menunjuk angka 10.32, hampir. Baru setengah jam ya? Tapi sepertinya cafe sudah
mau tutup. Pelayan sudah membersihkan meja-meja di sekitar kami. Hanya tiga
meja yang masih terisi.
Lengang. Aku tidak tahu, kenapa malam ini
terasa begitu sepi.
“Sepertinya cafe malam ini tutup lebih cepat,
Tiana. Aneh ya. Memang ini hari apa? Benar-benar tidak bagus. Bisnis seperti
ini aku yakin tidak akan berjalan lama. Kalau jam tutup toko saja mereka tidak
punya jadwal pasti. Sebaiknya setelah ini kita cari tempat lain. Tidak masalah
kalau harus cari yang lebih mahal. Aku pernah melihatnya hanya beda dua blok dari
sini. Aku pikir itu manis sekali, desainnya warna oranye lembut. Aku pernah
membuatkan desain seperti itu untuk seorang klien-ku. Tapi itu sudah lama
sekali. Waktu itu aku belum paham bisnis. Aku pasang harga standar, aku pikir
itu sudah mahal. Tapi ternyata jauh sekali. Aku bisa mendapat lebih dari itu.
Bodoh sekali. Harusnya aku konsultasi dulu dengan orang lain yang lebih tahu.
Penyesalan memang cuma ada di belakang. Aku pernah datang ke klien itu lagi.
Tapi dia sama sekali tidak menyinggung tentang harga desain yang terlalu murah.
Menyebalkan. Ya... mau bagaimana lagi. Aku tidak mungkin menuntut karena sudah
ada perjanjian hitam di atas putih...”
Maaf
Galih, entah kenapa malam ini aku benar-benar merasa jadi kotak sampah.
***
“Apa?? Kalian putus??”
Aku menggangguk.
“Tiana sayang... aku gak habis pikir. Apa sih
yang ada di dalam kepalamu ini?” Lira menempelkan kedua tanggannya di pipiku,
menekannya hingga membuat bibirku monyong. “Tiana cantik... Selamat! Kau baru
saja melepaskan pangeran paling romantis di seluruh dunia!”. Tepat setelah
mengucapkan kata ‘dunia’, Lira berbalik, mengambil cangkir kopi susu di meja
lalu meminumnya.
Romantis?
Aku kehilangan kemampuanku dalam menerjemahkan
kata-kata. Ah, romantis? Apa definisi dari kata ‘romantis’? Apa artinya? Aku
memandang sekeliling, berharap di kamar kos Lira ini terdapat Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Aku benar-benar lupa –atau mungkin memang tidak tahu- apa
yang dimaksud dengan ‘romantis’!
Lira menatapku sambil meletakkan cangkir
kosongnya ke meja. Lagi.
“Kamu akan menyesal! Bayangkan! Enam tahun
kalian saling kenal yang hanya mampu saling bertukar rasa lewat tulisan.
Terpenjara dalam ruang maya. Mencinta dalam gelap. Kagum pada sisi romantis
masing-masing. Lalu satu tahun belakang seperti mimpi barulah kalian
dipertemukan dalam hubungan nyata! Oh Tiana sayang, aku benar-benar tidak mau
bilang kalau kamu itu bodoh banget...” Lira mencubit pipiku.
Aku tidak tahu apakah perlu pembelaan. Aku
hanya merasa ada yang janggal dengan kata ‘romantis’ yang disebutkan Lira
berkali-kali. Aku terdorong untuk menjelaskan, aku tidak bisa tahan. Akhirnya
aku menjelaskan bahwa Galih tidak romantis sama sekali! Kau tidak akan
membayangkan seorang pangeran tampan membiarkan kekasihnya menunggu kedinginan
setiap malam hanya untuk dijadikan kotak sampah. Marah-marah tiap hari hanya karena alasan
sepele seperti jaket dan kancing baju. Kekasih mana yang tega membiarkan
perempuannya menunggu lebih dari dua jam hanya untuk menjadi teman minum kopi.
Atau telpon-telpon yang mengekang itu. Atau jadwal rutin yang seolah rutinitas
pelatihan prajurit TNI itu...
Tiana menatapku tak percaya. Aku seolah
membaca dari matanya dia mengatakan “Kamu mengada-ada!”.
“Tiana! Kamu gak serius, kan? Mengada-ada
banget!”. Ah, tepat! “Seorang Galih gak mungkin kayak gitu...”
Aku menjelaskan lagi semampu yang aku tahu.
Aku benar-benar hanya menceritakan yang aku tahu, tanpa mengurangi apalagi
menambah. Aku hanya merasa kehilangan dia yang kukenal sejak tujuh tahun lalu.
Tulisan-tulisannya, puisinya tentang hujan dan payung, penggalan prosanya yang
berubah menjadi melodi merdu yang selalu menemani senjaku. Aku kehilangan dia.
Aku kehilangan Galih yang kukenal di dunia maya itu. Aku kehilangan.
Lira tidak tahu. Tiga bulan belakangan kubuka
lagi tulisan-tulisannya sejak kami pertama kenal. Tentang buah apel dan sekotak
wafer yang dikirimnya pada gadis hujan, itu aku. Tentang bibit anggrek yang
warna bunganya pun dia tidak tahu, anggrek
itu masih di kamarku. Tentang puisi bodoh yang aku terima di pameran lukisan
tiga tahun lalu, kertas itu benar-benar
masih kusimpan. Tentang pantai yang ombaknya menelan ranting-ranting, foto-foto itu. Tentang hujan dan
payung... Aku membuka kembali semua tulisannya. Berharap someone yang selalu jadi
objek dalam tulisannya itu benar-benar bukan aku. Atau... aku berharap, memang
bukan dia yang menulis semua itu. Aku harap itu memang orang lain.
Galih berbeda dari apa yang kukenal selama
ini.
“Tiana... Berhentilah... Aku tidak tahu apa-apa.
Aku hanya temanmu yang hanya bisa melihat dari jauh. Aku tidak mengenal Galih.
Sungguh, meski kita pernah satu sekolah saat SMP...”
Aku kosong. Aku takut kalau aku ini juga bukan
aku.
“Tapi... Tiana. Kau harus ingat satu hal. Kita
mungkin menjadi dua atau tiga orang yang berbeda. Kita mengenal seseorang
sebagai ‘sesuatu’ tapi ternyata ada sifat lain yang dimiliki. Kita bisa jadi
berlaku sebagai seseorang tapi pada saat yang sama kita adalah orang lain...”
Aku benar-benar takut. Aku ini siapa?
“Tiana... Kita seharusnya mampu menerima semua
sisi itu. Perbedaan yang mungkin tanpa kita sadari. Bukankah bumi dicipta dari
tanah sebagai pelengkap langit yang menurunkan hujan? Laut takkan menjadi indah
tanpa pantai yang kau injak. Pun, samudra yang tenang takkan menunjukkan
keindahannya jika saat menyelam kau malah tenggelam...”
Lira... hina-lah aku, kalau aku menjadi
seseorang yang tidak mampu menerima perbedaan itu. Aku hanya menginginkan Galih
yang dulu. Galih yang kukenal lewat puisi, lewat syair, lewat melodi. Galih
yang membuatku punya alasan untuk menulis semua kerinduan, cinta, melankolis,
bahkan romantisme. Aku mencintainya karena kesamaan itu. Aku hanya membayangkan
satu tahun ini berjalan dengan hal yang sama. Puisi, syair, melodi. Semua
harusnya sama, yang jadi pembeda hanya dulu kami duduk menghadap laptop
masing-masing, tapi kini kami berada dalam satu meja yang sama. Semua harusnya
sama.
“Tidak seperti itu! Tiana... Cinta bukan
karena kalian selalu sama. Bukan karena
puisi, syair maupun prosa. Tiana, sadarlah! Kalian sedang menjalani kehidupan
sepasang kekasih, dan bukan sedang membuat komunitas menulis!”
Deg.
Aku...
Aku...
Iya. Aku memang bukan mencari kekasih...
Aku hanya sedang...
Membuat Komunitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar