Senja

Minggu, 08 Juni 2014

Kebetulan

Jika memang benar, maka terlalu banyak kebetulan yang terjadi dalam hidup ini. Saya: an ordinary person, yang tiba-tiba menapakkan kaki di negeri Gajah Putih, negeri Menara Kembar, dan negeri Ikan berkepala Singa, … terasa serba kebetulan.




Bukan seseorang yang hobi penelitian, menulis karya ilmiah pun bisa dihitung dengan jari tangan kanan saja. Bukan seseorang yang terbiasa presentasi paper ilmiah di kampus atau daerah lain. Hanya mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) sesekali, dan Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) sekali. Saya hanya bisa menggambar dan sedikit kemampuan menulis, karena notabene berasal dari program studi (prodi) pendidikan seni rupa. Pun bukan kelas bertaraf Internasional layaknya prodi-prodi di fakultas lain.

Mimpi?
Tentang mimpi, saya toh juga sama dengan teman-teman yang lain. Saya menuliskan 100 mimpi seperti yang diinstruksikan motivator di sebuah workshop ketika menjadi mahasiswa baru (maba).Kalian juga, kan? Menempel pohon mimpi di dinding kamar kos dengan daun-daun yang semakin hari semakin rimbun, juga saya lakukan. Mimpi keluar negeri, saya juga punya. Lihatlah, salah satu daun di pohon mimpi saya, bertuliskan: India. Mimpi saya, mengunjungi Taj Mahal, mengelilingi New Delhi, mampir di studio film Bolliwood, dan bertemu Shahrukh Khan. Mimpi sederhana yang sangat ingin saya capai.

Semuanya biasa saja.Saya adalah mahasiswa pada umumnya. Yang punya cita-cita sama dengan kalian, tidak kurang tidak lebih.
Sebelum akhirnya ‘kebetulan-kebetulan’ itu hadir, dan mengubah persepsi saya tentang agungnya sebuah mimpi…

An ordinary woman,
An extraordinary journey,
FOR LOVE
My Name Is Lhan
(and I’m not a terrorist)


Maka,
Bagi saya perjalanan pertama adalah perjalanan budaya, kedua adalah perjalanan pendidikan, dan ketiga adalah perjalanan yang menyadarkan betapa saya mencintai Indonesia.

***

Searching for content…

Begitu diingatkan pada deadline tulisan, saya buru-buru membuka kembali satu folder foto bernama Expedisi Thai. Bagi saya, ingatan itu seperti ombak di pantai: pasang surut, kadang menderu kadang lenyap. Karena itu, butuh stimulus ekstra untuk mengembalikan kenangan yang teman-teman CES harapkan menjadi konten dalam buku ini.Stimulus berupa album foto usang.

Album di laptop dengan AMD processor itu berisi pengalaman kedua saya naik pesawat, dengan maskapai yang diklaim banyak pihak sebagai maskapai terbaik di Indonesia.Kursi yang nyaman, monitor yang menyajikan hiburan audio visual, pramugari ramah yang selalu menawarkan makanan gratis (maskapai lain biasanya bayar lagi), dan pemandangan sunrise di luar jendela. Saya menikmatinya, sebagai perjalanan perdana ke negara lain yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.

Begitu berada tepat di atas negara Thailand, satu hal saja yang ada di kepala saya: rapi banget! Pemandangan sawah dan ladang yang sangat teratur, hijau, tampak sekali kalau pertanian di negara ini tersistem dengan baik. Kabar angin yang pernah saya terima juga menyebutkan kalau nasinya lebih enak. Butir beras lebih panjang, besar, dan putih bersih, pulen saat dimasak. Sulit memilih bahasa yang sesuai untuk menggambarkan, mungkin karena saya bukan berasaldari prodi ilmu pertanian.Mudahnya, dari ketinggian normal pesawat yang hampir landing, di mata saya Thailand adalah negri agraris yang begitu indah.

Tiba di Suvarnabhumi, lagi-lagi terkagum dengan situasinya, baik fisik maupun sosial. Arsitektur yang agung dan rapi, suasana nyaman, dan teratur.Saya sarankan pada pembaca untuk mencari info lebih terkait bandara yang satu ini, karena penting sebagai referensi pembangunan arsitektur bangunan publik bertaraf internasional.

Perjalanan berlanjut ke objek wisata terdekat dari bandara. Saya mulai menikmati perjalanan sebagai turis asing pada umumnya: jalan-jalan, belanja, foto-foto, biasa saja. Sama biasanya dengan lingkungan yang ditemui, ternyata tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Karakteristik lingkungan dan kehidupannya sama. Pembedanya hanya dua: Pertama, sangat sulit mencari masjid; Kedua, tiba-tiba saya jadi buta huruf, karena semua tulisan berubah bentuk menjadi sansekerta.

Unik. Hal pertama yang paling menarik ketika berperjalanan ke negara lain adalah menemui bahasa asing yang tidak dimengerti. Berada di antara orang asing dengan nada bicara naik turun membuat saya seolah berada dalam film  สิ่งเล็กเล็กที่เรียกว่า...รัก akaA Little Thing Called Love (dan tentu saja saya pemeran utamanya: Nam). Proses ‘belanja’ menjadi lebih menarik karena tawar-menawar tidak lagi seperti di Bering Harjo. Mitos bahwa jika kita menawar dalam bahasa asli (bahasa Jawa, saat di Bering Harjo) akan mendapat potongan harga yang tinggi, tidak berlaku di sini. Karena jelas akan langsung ketahuan kalau kita orang asing. Nantinya, saat kelas bahasa Indonesia di Naresuan University, saya dan teman-teman akhirnya tahu bahwa belajar bahasa Thai tidak sekedar menyusun Subjek+Predikat membentuk pola SPOK. Tapi juga mengenai nada tinggi-rendah, panjang-pendek, bahkan lebih sulit dari belajar bahasa Inggris.

(Missing content... you can read more complete in this book: . Order: @FB account> senja16@ymail.com or Wulan Bila)

***

“Berminat melanjutkan studi ke luar negeri, Lan?”

Entah.Saya selalu tidak bisa menjawab.

Saya bukan Habibie yang punya keahlian membuat pesawat, bukan Andreas Raharso yang bisa jadi kepala riset global, bukan Richard Bharata yang bisa membuat setting Assassin's Creed, bukan animator yang mungkin diterima produser Upin Ipin.

Bagi saya, menyenangkan bisa berkeliling dunia cukup sebagai turis yang memperkenalkan kekayaan budaya negeri sendiri.Tidak perlu menjadi WNI yang menetap di negara asing, karena Indonesia tetap tempat yang terbaik.Indonesia memberi ruang yang luas untuk tumbuh mendewasa. Belajar dari perihnya berjuang, mati-matian beperang melawan keinginan bolos kuliah, menghiasi masa mahasiswa dengan demo-demo, berteriak-teriak sok bijak di media cetak dan online, memeras keringat untuk sepiring nasi kucing, mengais-ngais tong sampah bernama jobfair, bermelankolis dan menangis berdarah-darah karena putus cinta, menemukan belahan hati hingga beranak cucu, beradu argumen dengan para perampas hak cipta kreatif, menyanyi, bermain teater, melukis di tanah sendiri jauh lebih indah, asal setiap rindu bisa segera pulang ke pangkuan bapak ibu.

Lebih enak ke luar negeri sekedar jadi turis.Ke negeri-negeri antah berantah sebagai pengunjung.Berharap di salah satu kesempatan bisa menginjakkan kaki di tanah bangsa Tamil berasal, mengunjungi Taj Mahal, mengelilingi New Delhi, mampir di studio film Bolliwood. Meski bertemu Shahrukh Khanbukan lagi menjadi prioritas utama, karena keburu sang King Khan bersandang Alm.

Dan, eh, tentang judul tulisan ini.‘Kebetulan’.Kalian yakin kalau di dunia ini semua terjadi serba kebetulan?

Gue sih, nggak!

Susunan atom dalam partikel, hingga rotasi planet-planet dalam galaksi bimasakti sekalipun sudah ada yang mengatur sedemikian rupa. Wajah-wajah yang akan kita jumpai, tanah yang akan kita jejaki dan teduh langit yang akan kita syukuri telah ditentukan. Tertulis rapi laksana bintang-bintang.Tidak berubah.Tinggal tugas kita adalah menyempurnakan usaha, ikhtiar, optimalkan, ambil semua peluang yang mungkin, ikhlas pada apapun hasil.Dan amatilah hingga kalian bisa melihat dengan nyata, bahwa keberuntungan bukan lagi sekedar ‘kebetulan yang menyenangkan’.Tapi keberuntungan adalah ‘peluang’ yang bertemu dengan ‘kesiapan’.

Berikhtiarlah sekuatnya, agar hasil yang kita terima sama dengan takdir yang Allah tulis.

Sungguh,
tidak ada yang kebetulan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar