Jika memang
benar, maka terlalu banyak kebetulan yang terjadi dalam hidup ini. Saya: an ordinary person, yang tiba-tiba
menapakkan kaki di negeri Gajah Putih, negeri Menara Kembar, dan negeri Ikan
berkepala Singa, … terasa serba kebetulan.
Bukan
seseorang yang hobi penelitian, menulis karya ilmiah pun bisa dihitung dengan
jari tangan kanan saja. Bukan seseorang yang terbiasa presentasi paper ilmiah
di kampus atau daerah lain. Hanya mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM)
sesekali, dan Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) sekali. Saya hanya bisa
menggambar dan sedikit kemampuan menulis, karena notabene berasal dari program
studi (prodi) pendidikan seni rupa. Pun bukan kelas bertaraf Internasional
layaknya prodi-prodi di fakultas lain.
Mimpi?
Tentang mimpi, saya toh juga sama dengan teman-teman yang lain. Saya menuliskan
100 mimpi seperti yang diinstruksikan motivator di sebuah workshop ketika
menjadi mahasiswa baru (maba).Kalian juga, kan? Menempel pohon mimpi di dinding
kamar kos dengan daun-daun yang semakin hari semakin rimbun, juga saya lakukan.
Mimpi keluar negeri, saya juga punya. Lihatlah, salah satu daun di pohon mimpi
saya, bertuliskan: India. Mimpi saya, mengunjungi Taj Mahal, mengelilingi New
Delhi, mampir di studio film Bolliwood, dan bertemu Shahrukh Khan. Mimpi
sederhana yang sangat ingin saya capai.
Semuanya
biasa saja.Saya adalah mahasiswa pada umumnya. Yang punya cita-cita sama dengan
kalian, tidak kurang tidak lebih.
Sebelum akhirnya ‘kebetulan-kebetulan’ itu hadir, dan mengubah persepsi saya
tentang agungnya sebuah mimpi…
An ordinary woman,
An extraordinary journey,
FOR LOVE
An extraordinary journey,
FOR LOVE
My Name Is Lhan
(and I’m not
a terrorist)
Maka,
Bagi saya perjalanan pertama adalah perjalanan budaya, kedua adalah perjalanan pendidikan, dan ketiga adalah perjalanan yang menyadarkan betapa saya mencintai Indonesia.
Bagi saya perjalanan pertama adalah perjalanan budaya, kedua adalah perjalanan pendidikan, dan ketiga adalah perjalanan yang menyadarkan betapa saya mencintai Indonesia.
***
Searching for content…
Begitu
diingatkan pada deadline tulisan,
saya buru-buru membuka kembali satu folder foto bernama Expedisi Thai. Bagi saya, ingatan itu seperti ombak di pantai:
pasang surut, kadang menderu kadang lenyap. Karena itu, butuh stimulus ekstra
untuk mengembalikan kenangan yang teman-teman CES harapkan menjadi konten dalam
buku ini.Stimulus berupa album foto usang.
Album di
laptop dengan AMD processor itu
berisi pengalaman kedua saya naik pesawat, dengan maskapai yang diklaim banyak
pihak sebagai maskapai terbaik di Indonesia.Kursi yang nyaman, monitor yang
menyajikan hiburan audio visual, pramugari ramah yang selalu menawarkan makanan
gratis (maskapai lain biasanya bayar lagi), dan pemandangan sunrise di luar jendela. Saya
menikmatinya, sebagai perjalanan perdana ke negara lain yang belum pernah
terbayangkan sebelumnya.
Begitu berada
tepat di atas negara Thailand, satu hal saja yang ada di kepala saya: rapi banget! Pemandangan sawah dan
ladang yang sangat teratur, hijau, tampak sekali kalau pertanian di negara ini
tersistem dengan baik. Kabar angin yang pernah saya terima juga menyebutkan
kalau nasinya lebih enak. Butir beras lebih panjang, besar, dan putih bersih,
pulen saat dimasak. Sulit memilih bahasa yang sesuai untuk menggambarkan,
mungkin karena saya bukan berasaldari prodi ilmu pertanian.Mudahnya, dari
ketinggian normal pesawat yang hampir landing,
di mata saya Thailand adalah negri agraris yang begitu indah.
Tiba di Suvarnabhumi,
lagi-lagi terkagum dengan situasinya, baik fisik maupun sosial. Arsitektur yang
agung dan rapi, suasana nyaman, dan teratur.Saya sarankan pada pembaca untuk
mencari info lebih terkait bandara yang satu ini, karena penting sebagai
referensi pembangunan arsitektur bangunan publik bertaraf internasional.
Perjalanan
berlanjut ke objek wisata terdekat dari bandara. Saya mulai menikmati
perjalanan sebagai turis asing pada umumnya: jalan-jalan, belanja, foto-foto,
biasa saja. Sama biasanya dengan lingkungan yang ditemui, ternyata tidak jauh
berbeda dengan Indonesia. Karakteristik lingkungan dan kehidupannya sama.
Pembedanya hanya dua: Pertama, sangat sulit mencari masjid; Kedua, tiba-tiba
saya jadi buta huruf, karena semua tulisan berubah bentuk menjadi sansekerta.
Unik. Hal pertama
yang paling menarik ketika berperjalanan ke negara lain adalah menemui bahasa
asing yang tidak dimengerti. Berada di antara orang asing dengan nada bicara
naik turun membuat saya seolah berada dalam film
สิ่งเล็กเล็กที่เรียกว่า...รัก akaA Little Thing Called
Love (dan tentu saja saya
pemeran utamanya: Nam). Proses ‘belanja’ menjadi lebih menarik karena
tawar-menawar tidak lagi seperti di Bering Harjo. Mitos bahwa jika kita menawar
dalam bahasa asli (bahasa Jawa, saat di Bering Harjo) akan mendapat potongan
harga yang tinggi, tidak berlaku di sini. Karena jelas akan langsung ketahuan
kalau kita orang asing. Nantinya, saat kelas bahasa Indonesia di Naresuan
University, saya dan teman-teman akhirnya tahu bahwa belajar bahasa Thai tidak
sekedar menyusun Subjek+Predikat membentuk pola SPOK. Tapi juga mengenai nada
tinggi-rendah, panjang-pendek, bahkan lebih sulit dari belajar bahasa Inggris.
(Missing content... you can read more complete in this book: . Order: @FB account> senja16@ymail.com or Wulan Bila)
***
“Berminat
melanjutkan studi ke luar negeri, Lan?”
Entah.Saya selalu
tidak bisa menjawab.
Saya bukan
Habibie yang punya keahlian membuat pesawat, bukan Andreas Raharso yang bisa
jadi kepala riset global, bukan Richard Bharata yang bisa membuat setting Assassin's Creed, bukan animator yang mungkin diterima
produser Upin Ipin.
Bagi saya, menyenangkan
bisa berkeliling dunia cukup sebagai turis yang memperkenalkan kekayaan budaya
negeri sendiri.Tidak perlu menjadi WNI yang menetap di negara asing, karena
Indonesia tetap tempat yang terbaik.Indonesia memberi ruang yang luas untuk
tumbuh mendewasa. Belajar dari perihnya berjuang, mati-matian beperang melawan
keinginan bolos kuliah, menghiasi masa mahasiswa dengan demo-demo, berteriak-teriak
sok bijak di media cetak dan online, memeras keringat untuk sepiring nasi
kucing, mengais-ngais tong sampah bernama jobfair,
bermelankolis dan menangis berdarah-darah karena putus cinta, menemukan belahan
hati hingga beranak cucu, beradu argumen dengan para perampas hak cipta
kreatif, menyanyi, bermain teater, melukis di tanah sendiri jauh lebih indah,
asal setiap rindu bisa segera pulang ke pangkuan bapak ibu.
Lebih enak ke
luar negeri sekedar jadi turis.Ke negeri-negeri antah berantah sebagai
pengunjung.Berharap di salah satu kesempatan bisa menginjakkan kaki di tanah
bangsa Tamil berasal, mengunjungi Taj Mahal, mengelilingi New Delhi, mampir di
studio film Bolliwood. Meski bertemu Shahrukh Khanbukan lagi menjadi prioritas
utama, karena keburu sang King Khan bersandang Alm.
Dan, eh,
tentang judul tulisan ini.‘Kebetulan’.Kalian yakin kalau di dunia ini semua
terjadi serba kebetulan?
Gue sih, nggak!
Susunan atom
dalam partikel, hingga rotasi planet-planet dalam galaksi bimasakti sekalipun
sudah ada yang mengatur sedemikian rupa. Wajah-wajah yang akan kita jumpai,
tanah yang akan kita jejaki dan teduh langit yang akan kita syukuri telah
ditentukan. Tertulis rapi laksana bintang-bintang.Tidak berubah.Tinggal tugas
kita adalah menyempurnakan usaha, ikhtiar,
optimalkan, ambil semua peluang yang mungkin, ikhlas pada apapun hasil.Dan
amatilah hingga kalian bisa melihat dengan nyata, bahwa keberuntungan bukan
lagi sekedar ‘kebetulan yang menyenangkan’.Tapi keberuntungan adalah ‘peluang’
yang bertemu dengan ‘kesiapan’.
Berikhtiarlah
sekuatnya, agar hasil yang kita terima sama dengan takdir yang Allah tulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar