Minggu, 25 November 2012

Kenapa Begitu Paranoid dengan Simbol? (Mata Satu, Bintang Terbalik, dsb)


Sempat merenung juga ketika membaca status facebook seorang teman yang mempertanyakan hal itu.
Kenapa begitu parno dengan simbol-simbol?
Mata satu, salib, bintang terbalik de el-el.
Hidup kok ribet amat!!

Ya ya, kalau mau alasan yang kaku sih saya punya satu ini.
Menurut Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya Islam Bicara Seni bagian ‘Menggambar Objek yang menjadi simbol agama lain, beliau menulis penjelasan seperti ini:
Masih berdekatan dengan masalah ini adalah menggambar benda-benda yang dianggap sebagai simbol agama tertentu selain Islam. Contoh yang paling mudah, misalnya menggambar salib yang merupakan simbol agama Nasrani. Segala macam bentuk gambar yang mengandung unsur salib, jelas haram hukumnya, tanpa ragu lagi. Setiap muslim harus menyingkirkannya.
Dalam masalah ini, Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa ia berkata,
“Nabi Saw. tidak pernah membiarkan di rumahnya sesuatu yang padanya ada salib, kecuali beliau memusnahkannya.”
Begitulah. Hukumnya jelas: haram.

Pernah di satu pertemuan tutorial saya menganalogikan simbol-simbol ini sebagai merk makanan. Sebut saja nasi kucing di pojokan Bantul dengan merk Me∞ng. (Maaf kepada warga Bantul… Cuma contoh kok ^^v)
Saya sama sekali tidak suka dengan Me∞ng. Nasinya pahit dan sering kali saya dapati belum matang, masih berasa beras utuh. Belum lagi lauknya yang sedikit sekali tidak sebanding dengan harganya yang mahal. Parahnya, saya pernah mendapati si Me∞ng sudah basi tapi masih dijual! Dengan segala alasan itu, saya berhak untuk mengatakan bahwa Me∞ng sangat tidak layak untuk dikonsumsi.
Tapi, jika suatu saat saya membuat karya, poster misalnya, saya tidak sengaja menggambar simbol Me∞ng di poster saya itu. Kemudian poster itu disebar ke seluruh penjuru Jogja dan menjadi terkenal. Duh! Pasti saya akan getun sekali.
Pertama, saya dianggap menyukai nasi kucing Me∞ng itu, padahal jelas-jelas saya tidak suka.
Kedua, poster saya jadi media iklan Me∞ng gratis! Wah, enak banget si Me∞ng itu. Dapat media iklan gratis yang berasal dari orang yang sebenarnya tidak suka. Parah!
Ketiga, saya menjerumuskan banyak orang lain karena turut andil mensugesti mereka untuk ikut mencicipi si Me∞ng yang tidak enak itu.
Keempat…
Kelima…
Ah, banyak sekali yang akan membuat saya merasa getun telah menggambar si Me∞ng di poster saya. Itu saja saya tidak sengaja. Lah gimana kalau saya sengaja? Saya sangat tidak suka dengan Me∞ng tapi malah saya dengan sengaja menggambarnya di poster kemudian menyebarkannya! Duh gusti… saya belum segila itu kok!
Saya paham betul dengan apa yang saya gambar. Saya selalu berusaha untuk memahami apa yang saya gambar sebelum membuatnya. Saya berusaha untuk paham, bukan semata-mata karena itu bagus atau hanya ikut-ikutan tanpa tahu maknanya.

Tapi memang begitulah. Kebanyakan dari kita tidak paham, sekedar ikut-ikutan. Kalau dinilai itu ‘cool’, ‘keren’ dan sebagainya, lantas kita latah untuk ikut membuatnya tanpa tahu makna yang ada dibaliknya.
Padahal, bukankah kita sepakat bahwa manusia adalah makhluk simbolik, manusia adalah pencipta dan pemakai simbol. Pemikiran simbolis dan tingkah laku simbolis merupakan ciri yang betul-betul khas manusiawi dan bahwa seluruh kemajuan budaya manusia mendasarkan diri pada kondisi-kondisi itu. (Ernst Cassirer 1987: 4)
Manusia menciptakan simbol untuk menyampaikan maksud hatinya, dalam banyak hal.
Kalau di Wikipedia sih dijelaskan kalau;
Simbol adalah gambar, bentuk, atau benda yang mewakili suatu gagasan, benda, ataupun jumlah sesuatu. Meskipun simbol bukanlah nilai itu sendiri, namun simbol sangatlah dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan nilai-nilai yang diwakilinya. Simbol dapat digunakan untuk keperluan apa saja. Semisal ilmu pengetahuan, kehidupan sosial, juga keagamaan. Bentuk simbol tak hanya berupa benda kasat mata, namun juga melalui gerakan dan ucapan. Simbol juga dijadikan sebagai salah satu infrastruktur bahasa, yang dikenal dengan bahasa simbol.
(Lengkapnya bisa di baca di http://id.wikipedia.org/wiki/Simbol)
Intinya, simbol yang dibuat dan (sadar atau tidak sadar) disepakati manusia itu ada banyak sekali dan semua simbol itu ada maknanya. Inilah yang seharusnya kita cari tahu sebelum kita bersepakat untuk turut menggunakannya atau tidak.

Saya teringat sebuah novel perjalanan yang pertama kali cetak di Juli 2011, 99 Cahaya di Langit Eropa. Ditulis oleh pasangan suami istri, Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Saya sangat tertarik dengan kisah perjalanan Hanum di halaman 153 sampai halaman 172, tentang Kufic. Pernah dengar?
“Sepertinya itu tulisan Kufic. Seni kaligrafi Arab kuno. Tak terbaca dengan pengetahuan biasa. Sekilas hanya seperti coretan Arab yang tak ada artinya. Tapi ini sebuah misi dakwah yang luar biasa. Para khalifah Islam senang mengirim cendera mata dengan pesan puitis dengan dekorasi Kufic seperti ini kepada raja-raja Eropa yang kebanyakan menganut Katolik Roma.” Penjelasan Marion kepada Hanum ketika mereka melihat sebuah piring peninggalan peradaban Islam di Museum Louvre.  Marion adalah warga Asli Perancis yang menjadi mualaf.
Piring itu dihiasi huruf hijaiyah yang sedemikian rupa sehingga terlihat seperti sekedar ornamen biasa. Tapi kaligrafi itu bisa dibaca: Al-‘ilmu murrun syadidun fil bidayah, wa ahla minal ‘asali fin-nihayah. Artinya: Ilmu pengetahuan itu pahit pada awalnya, tetapi manis melebihi madu pada akhirnya.
Kufic itu melingkar indah di pinggiran piring, sedangkan di tengahnya terdapat symbol yang sudah tidak asing, hitam dan putih yang saling ‘memeluk’. Yap, Ying dan Yang. Simbol keseimbangan yang jika dikaitkan dengan kaligrafi Kufic tadi melambangkan perlunya keseimbangan antara agama dan ilmu.
Di sini saya sudah bertanya-tanya, bukankah Ying dan Yang itu bukan berasal dari kebudayaan Islam? Dari Cina, kan ya? Aneh. Kenapa orang Islam sendiri menggunakan simbol itu? Tidakkah haram? Tidakkah bathil?
Ah, tapi saya bukan ingin mempersoalkan tentang symbol Yin dan Yang itu dulu (mungkin kapan-kapan, InsyaAllah).

Kembali ke Kufic.
Begitulah, piring dengan Kufic itu dijadikan sebagai media pembawa pesan dakwah dengan simbol yang lebih diterima karena menyentuh rasa keindahan, estetika.
Marion mengajak Hanum melihat karya lain yang terdapat Kufic di dalamnya. Tapi kali ini bukan di peninggalan peradaban Islam.
Vierge a I’Enfant-The Virgin and the Child: Ugolino di Nerio 1315-1320
Lukisan Bunda Maria dan bayi Yesus, yang jelas dilukis oleh nonmuslim. Marion meminta Hanum untuk mengamati lukisan itu dengan teliti. Lebih tepatnya di bagian hijab/jilbab. Eh, tapi ini bukan soal Bunda Maria yang selalu digambarkan menggunakan hijab, (Walaupun saya sepakat kalau bunda Maria saja menggunakan jilbab, bagaimana mungkin ada yang mengimani beliau tapi malah melarang menggunakan jilbab, hehe), tapi ini tentang pola hias yang terdapat di hijab Bunda Maria. Sulit terbaca, tapi Marion sangat yakin bahwa itu adalah tulisan Arab. Dan itu adalah ‘Laa Ilaa ha Illallah’
Ya. Hijab Bunda Maria itu bertuliskan kalimat Tauhid, ‘Laa Ilaa ha Illallah’…
Mana mungkin seorang nonmuslim menuliskan kalimat Tauhid di karyanya. Apa dia sudah gila?
Marion menjelaskan itu bukan Kufic, tapi Pseudo Kufic. Pseido Kufic adalah coretan-coretan imitasi tulisan Arab, dengan kata lain: tulisan Arab yang dibuat oleh orang yang sebenarnya tidak tahu atau tidak paham tulisan Arab. Ini ditemukan di banyak karya lukisan, patung bahkan di mantel raja Eropa yang digunakan pada hari pengangkatannya sebagai raja.
“Menilik latar belakang para pelukis yang sebagian besar nonmuslim, tidak mungkin mereka membuat pesan rahasia di lukisan Bunda Maria… Kecuali satu hal…”
Kecuali?
“Kecuali… dia tidak sengaja,” ucap Marion pendek.
Tidak sengaja?
“Ya tidak sengaja. Mereka tidak mengetahui arti tulisan yang mereka coret.”
Hanum di halaman 169 bahkan memperjelas perasaan anehnya dengan menulis:
Tidak sengaja? Bagaimana mungkin seorang pelukis tak tahu apa yang dia lukis?
Tapi, ya begitulah. Mereka tidak tahu. Tidak paham.
Awal abad ke-12 peradaban Islam sangat maju. Hasil tenun, tekstil, dan kerajinan tangan orang-orang muslim yang begitu berkualitas dan dengan corak warna bermacam-macam menyebar hingga ke Eropa. Semua hasil industri yang beraneka ragam itu tidak lepas dari pahatan atau bordir bertuliskan kalimat tauhid. Dan begitulah, hasil seni rupa muslim menjadi trend di Eropa. Mereka menggunakan barang-barang karya orang muslim dalam kehidupan sehari-hari.
“Mungkin pelukis zaman Kegelapan Eropa melukis sosok Bunda Maria dengan model yang memakai kain berlafal Tauhid? Dan dia tak sengaja melukisnya?” tanya Hanum untuk meyakinkan dirinya sendiri.
Begitulah. Para pelukis realis itu melukis berdasarkan apa yang mereka lihat. Mereka melukiskan lafal Al-Qur’an yang sebenarnya tidak mereka pahami. Itu juga sebabnya tulisan itu sulit terbaca, tulisannya tidak sempurna. Ya karena ditulis oleh orang yang tidak paham maksudnya.

Begitulah.
Percakapan Marion dan Hanum yang begitu mencengangkan.
Dan saya mencoba untuk menyamakan situasi itu dengan kondisi sekarang.

Keadaan mode Islam saat itu samalah dengan Korean style saat ini. Dimana-mana berbau Korea. Cara menyanyi, mode pakaian, chibi-chibi… (haha). Dan tanpa sadar orang Indonesia menirunya (tapi mungkin juga sadar), menjadikannya gaya hidup sehari-hari. Bisa jadi, suatu ketika ada seorang muslim yang begitu tergila-gila dengan Korea kemudian menggunakan baju yang bertuliskan huruf cantik Korea, dan sama sekali tidak tahu kalau tulisan itu memiliki arti “Tuhan itu tidak ada!”
Wow… Wow… Naudzubillah…

Sekarang… Saya mencoba hening sejenak. Berpikir.
Ya, manut sih. Siapapun berhak menentukan pilihan, menggunakan atau tidak menggunakan sebuah simbol, sepanjang dia tahu maknanya.
Silakan jika teman-teman mau menggunakan symbol mata satu atau bintang terbalik atau apapun itu, jika setelah mencari tahu  maknanya teman-teman merasa yakin akan apa yang teman-teman putuskan. Tapi… KALO GUE SIH: OGAH!! ^^
Dan kita tentu tidak melupakan satu hadist ini kan:
”Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari mereka.” (HR. Abu Daud)
J
Wallahu’alam…

Sumber:
Qardhawi, Yusuf. 2004. Islam Bicara Seni. Solo. Era Intermedia
Rais, Hanum Salsabiela dan Rangga Almahendra. 2012. 99 Cahaya di Langit Eropa. Jakarta. Gramedia
Saeful, Ahmad. Skripsi: Ideologi di Balik Pemaknaan Poci Tegal kontemporer. Yogjakarta. UNY
http://id.wikipedia.org/wiki/Simbol
http://fimadani.com/hukum-mengenakan-simbol-atau-syiar-agama-lain/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komunitas Blogger Muslim