Minggu, 07 November 2010

Antagonis

Langit di atas tanah jawa mulai kelam. Aku cemas. Oh, bukan aku saja. Wajah-wajah kalut itu ada di sekelilingku. Pucat dan berkeringat. Roti-roti keras teronggok di meja lipat, dingin, bisu menatapi aku dan manusia lain yang diam tak bergeming. Hanya terdengar deru armada terakhir yang berani tinggal landas menyembunyikan degup jantungku yang makin menyesakkan dada. Lampu tanda wajib menggunakan sabuk pengaman berkedip dengan tempo cepat dan teratur, seolah mengejek hembusan nafasku yang sedari tadi tidak karuan.
            Aku melongok keluar jendela berembun kecoklatan, sama sekali tidak tampak sejuk. Awan-awan tak lagi putih. Mereka seolah baru saja dimuntahkan dari cerobong-cerobong asap pabrik sandal jepit. Bergetar hebat tiap kali melewatinya. Untunglah aku di dalam sini, terlindung dari aroma tajam belerang. Tidak perlu menggunakan masker apalagi tabung oksigen. Tapi sama sekali tidak mengurangi khawatirku.
            Kukeluarkan lagi surat-surat yang kubutuhkan, cek yang tinggal dicairkan saja, surat kepemilikan tanah, paspor, termasuk tiket pesawat ke Yunani. Benda-benda penting yang tidak boleh tertinggal. Bukan apa-apa, surat-surat ini jauh lebih penting dari apapun, bahkan lebih penting dari istri dan anakku. Ini soal hidup dan mati! Tanganku bergetar. Sial! Lagi-lagi muncul wajah bapak di kertas itu, dengan raut  muka kesal seolah ingin segera mengeluarkan kata-kata kasar untuk memakiku. Ah! Cukup Pak! Berhentilah! Bapak hanya membuat keadaan ini semakin buruk!
            Mengertilah Pak. Aku sudah memikirkan semuanya. Rencanaku telah matang. Aku pulang ke Mirasi[1] hanya sampai kondisi membaik. Sekalian melihat kondisi pabrik karet dan sawit. Berita yang kudapat kemaren sangat buruk. Wakilku di sana mengatakan kalau pemerintah Musi Rawas sudah mulai mencium ketidak beresan anggaran pabrik. Padahal aku sudah meminta salah satu anggota dewan untuk nego, tapi nihil, masalahnya malah makin besar. Ah, daripada berlanjut kekejaksaan, lebih baik kutangani sendiri. Kuharap cek ini cukup untuk membereskan otak-otak bodoh yang sok tahu itu!
Setelahnya aku akan terbang ke Malaysia, untuk mengungsikan apa yang bisa diungsikan.  Juga membawa pesanan gamelan dan batik-batik. Bapak tahu kan? Beberapa tahun mendatang gamelan akan jadi benda paling bersejarah bahkan mungkin akan dimuseumkan. Terbayang berapa harganya? Kalau sekarang saja seratus empat puluh jutaan, berarti ke depannya akan jadi sekitar satu atau dua miliar! Haha Pak, Aku akan kaya mendadak! Belum lagi batiknya. Sengaja hari ini aku memakai batik Mega Biru motif dan model terbaru, hitung-hitung promosi begitu sampai di bandara. Pasti  orang-orang akan langsung tertarik. Wah! Bisa-bisa baru sampai Musi Rawas saja semua batik yang kubawa habis. Peminat batik kan luar biasa besar! Apalagi melihat situasi yang seperti ini pasti banyak pengerajin yang tidak memproduksi batik dalam waktu lama. Ya! Aku akan jadi saudagar batik, terbesar!
            Hahahahahaha!
            Sial!
            Bahkan berfikir tentang uangpun tidak bisa membuatku merasa tenang. Wajah bapak masih saja seperti iblis yang berseliweran tiba-tiba, membuatku tambah sesak!
            Pak...
            Jadi tiket ini kan yang kau pemasalahkan? Mengertilah Pak, ini kesempatan besarku. Masalah etika politik itu tidak terlalu penting, ada hal lain yang membuatku akan tetap berangkat. Orang-orang akan kagum padaku yang telah menakhlukkan kota tua Yunani! Mengunjungi tempat penting yang terdapat banyak peninggalan peradaban terhebat tanpa mengeluarkan dana sepeserpun. Kapan lagi aku bisa pergi ke sana gratis? Biaya hidup selama satu minggu tak perlu dipikirkan. Bahkan aku masih akan dapat uang saku yang sangat besar, tidak hanya cukup untuk membeli berhektar tanah tapi juga cukup memenuhi keinginanmu naik haji Pak. Dua kali!
            Pak, tanah yang jadi alasanmu untuk tidak mengungsi saja takkan mampu membiayai sekedar mengurus paspor. Siapa yang mau membeli tanah di kawasan terjal kaki gunung Merapi yang berbatu, terisolasi dan malamnya sedingin kutub utara itu? Takkan sudi orang mengganti jutaan bahkan hanya ratusan ribu uang mereka dengan tanahmu. Apalagi dalam waktu dekat gunung  Mak Lampir itu akan segera memuntahkan isi perutnya!
            Bodoh! Jadi apa alasanmu untuk tetap tinggal? Padahal mbah Maridjan saja sudah menyerah dan ikut turun ke Sleman. Pak, kumohon jangan buat aku tertawa lagi! Ayolah Pak... Aku akan membiayai semua keperluanmu berangkat haji dengan uang saku itu. Jadi kumohon jangan permasalahkan keberangkatanku.
            DARRRR!!!
            Tiba-tiba terdengar deru lain yang sangat keras. Ah, itu bukan suara pesawat! Limbung! Kenapa tiba-tiba pesawat ini bergoncang? Getaran hebat, melebihi getaran apapun. Gempa? Bodoh! Mana ada gempa di langit? Sial! Penumpang lain mulai menjerit-jerit tak karuan memekakkan telingaku. Aku berpegangan erat pada kursi di depanku. Hah! Apa-apaan ini? Mana pilot yang berani main-main dengan nyawa ratusan penumpang? Apa dia tidak diajari cara mengemudikan pesawat terbang?
            Sial! Bukannya mereda, goncangannya malah makin kuat. Pramugari-prmugari cantik yang tadi membagikan roti mulai keluar, menenangkan penumpang yang makin keras menangis dan meraung. Seorang pramugari berjalan tertatih sambil memgangi kursi penumpang mendekatiku.
            “Mohon tetap tenang bapak-bapak dan ibu-ibu!”
            Heh! Cantik cantik bodoh! Mana bisa kami tenang di situasi seperti ini. Sebenarnya ada apa? Kenapa pesawat ini jadi berontak hebat seperti banteng?
Aku mencium aroma aneh, lebih busuk dari bau karet terbakar. Apa ini?
            “Mohon tenang, tetap gunakan sabuk pengaman Anda. Kita akan segera medarat darurat. Tolong yang membawa anak-anak, pegang erat-erat...”
            Ah! Tas ku? Mana tasku? Kertas-kertas itu? Astaga! Di mana kertas-kertas itu? Aku melongok ke bawah kursi. Ah sial! Sabuk pengaman menahanku. HAH! SIAL! Bagaimana ini? Aku harus mengambil tasku! Kulepas sabuk pengaman, tanpa basa-basi aku langsung terjungkal menabrak kursi di depanku diiringi jeritan spontan penumpang lain.
            “PAK! TOLONG JANGAN LEPASKAN SABUK PENGAMAN!” teriak pramugari tadi.
            Kurasakan nyeri di pundak kiriku yang berciuman langsung dengan besi kursi depan. Segera berpegangan pada apapun yang bisa kupegang. Ah! Di mana tasku? Mataku menyapu seluruh lantai kabin. HA! ITU! Di bawah kursi sekitar 2 meter di belakangku. Aku tiarap, merayap perlahan. Pramugari tadi masih saja berteriak-teriak mengutuki tingkahku. Hei nona! Kau tidak tahu betapa pentingnya surat-surat itu! Takkan kubiarkan tasku hilang!
Tinggal beberapa senti saja, tanganku hampir meraih tas itu. AH! Tas itu bergeser menjauh karena goncangan. Aku merayap lagi. Tapi entah kenapa pandanganku tiba-tiba mengabur. Aku pusing. Aku terus merayap tidak memperdulikan kunang-kunang yang mendadak muncul di depan mataku. Sial! Kunang-kunang itu bapak! Dia melotot sambil mengumpat!
“Bocah goblok! Uwis tak omong ra usah dadi DPR, koe malah nyalon! Ora usah ngedol lemah, saiki wis mbok dol! Ora usah bali Sumatra, malah wis tuku tiket! Woi! Karepmu ki opo bocah edan! Wis, ra usah rungokke lek bapakmu ki ngomong! Sekalian ra usah nganggep aku iki bapakmu! Rasakno wae sesok! Koe mesti intuk balesane seko gusti Allah!”[2]
Ya Allah...
Apakah aku akan mati...?
Allah... Aku melihat aku saat tertidur di ruang rapat. Aku melihat aku saat menerima uang tutup mulut. Aku melihat aku saat menandatangani kontrak impor beras ilegal. Aku melihat aku saat bersepakat untuk berangkat ke Yunani. Aku melihat manusia-manusia berebut nasi di tenda pengungsian. Aku melihat bocah-bocah dekil mengamen dari luar jendela mobil. Aku melihat masyarakat berdesakan menukar kupon zakat. Aku melihat bapak marah-marah. Aku melihat bapak turun dari kaki Merapi. Aku melihat bapak naik haji...
BRAAAAKKKK!!!
Gelap...
***

“Bapak ini belum siuman?”
“Fisiknya baik-baik saja tapi mungkin otaknya...”
“Itu yang saya takutkan.”
Apa... Aku tidak bisa mengeluarkan suara apa-apa dari mulut. Samar, wajah-wajah tak dikenal berseliweran di sekelilingku. Kaki tanganku kelu, tidak memberi respon apapun saat kugerakkan.
“PAKAI MASKER ANDA PAK! Hujan abu belum berhenti. Sepertinya akan tetap turun selama satu bulan ini.”
“Bantuan dari Arab akan datang minggu depan. Kita harus menunggu bantuan transportasi untuk mengungsi. Minggu ini diutamakan korban dari Lampung dan Sumatra Selatan.”
“Tidak! Belum ada bantuan dari Amerika!”
“Bagaimana cara menghubunginya Pak? Semua signal terputus?”
“Sudah dipastikan tidak ada yang selamat. Pulau Jawa hancur total!”
“Betul! Jakarta dan Jawa Barat lenyap, eh Jawa Tengah juga.”
“Bisa Pak. Ada kabar kalau sebagian Lampung juga tenggelam, jadi bantuannya kita alihkan ke sini.”
“Saya takut anak-anak dan wanita tidak bisa bertahan.”
“Apa mayat-mayat di bawah reruntuhangedung itu akan kita biarkan saja?”
“Saya dapat info Bali lebih parah dari kita. Nyaris semua penduduknya mati.”
“Periksa semua mall dan pasar! Ambil semua bahan makanan dan air yang masih bisa dikonsumsi!”
“Tapi Pak, kita butuh penerangan. Terlalu gelap dan berdebu. Kami sulit mengawasi korban.”
“Ini sangat besar. Sepertinya lebih besar dari letusan krakatau yang dulu.”
“Bukan! Ini karena bersamaan dengan Merapi dan gunung-gunung lain.”
“Kami harap kalian tetap bertahan. PBB sudah menyiapkan lokasi pengungsian di Cina. Bantuan bahan makanan akan tiba besok lusa.”
“Kita kumpulkan kain apapun yang bisa digunakan untuk masker.”
“Cari di apotek yang masih selamat!”
“Tidak bisa Pak. Kami sudah mencoba menghubungi karyawan kita di Solo, tapi tidak ada jawaban sama sekali...”
“TOLOL! Sudah kubilang pulau Jawa HANCUR DAN LENYAP!”
Kepalaku terasa sangat sakit. Kurasakan sesuatu merambat keluar dari hidungku, mengalir melewati bibir. Menetes, mengotori Mega Biruku. Darah!

***

Dret... Dret...
HPku bergetar. Kuraih. Sebuah panggilan.
Bapak?
Ah, mana punya bapak HP? Dia mana punya uang untuk membeli HP. Atau mungkin tanpa sepengetahuanku dia menabung dan membeli HP. Ah, jika iya pun, aku tidak pernah merasa memasukkan ke dalam kontak HPku.
Tapi...
Bukankah pulau Jawa sudah lenyap? Seharusnya bapak...
Kutekan tombol berwarna hijau, terima. Tanganku gemetar.
“Halo... Ini si...”
“Le, kita batal ke Yunani!”



[1] Kecamatan Tugumulyo Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan
[2] Anak bodoh! Sudah kubilang tidak usah jadi DPR, kamu malah nyalon. Tidak usah jual tanah, sekarang sudah kamu jual! Tidak usah pulang ke Sumatra, malah sudah beli tiket! Woi! Mau kamu itu apa anak gila! Sudah! Tidak usah dengarkan bapakmu ini bicara! Sekalian tidak usah anggap aku ini bapakmu! Rasakan besok! Kamu pasti mendapat balasan dari Allah!



1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komunitas Blogger Muslim