Rabu, 07 Desember 2011

Jangan Fitnah Merapi



Hari ini aku ingin bercerita tentang gunung.

Tanpa sengaja aku menatapnya tadi sore. Padahal (seperti biasa) keadaan sedang panik. Aku berusaha mengendarakan motor pinjaman adik angkatan dengan lumayan ngebut, melewati jalanan kampus yang boleh dibilang lumayan sepi sore itu, dikejar janji untuk mengembalikan helm maksimal 30 menit kemudian. Biasanya dalam keadaan begitu aku takkan peduli pada kondisi sekitar, bahkan menjadi hal wajar jika tiba-tiba aku menabrak motor lain di depanku atau meloncat indah ketika melewati polisi tidur. Tapi sore ini tidak. Seolah ada yang mengarahkan mataku begitu saja, dan menatapnya tiba-tiba membuat semua keadaan begitu damai.

Mari kugambarkan…

Merapi, gunung itu terihat begitu jernih, seolah tak ada tabir apapun yang memisahkan dia dan aku. Lekuk-lekuk bekas lukanya akhir 2010 lalu jelas terlihat. Abu-abu, ya di puncaknya penuh abu yang abu-abu, berseling sebagian dengan batu-batu yang nampak cadas. Sisi baratnya terang memantulkan sinar matahari sore yang gemerlap, sebagian sisi timurnya tampak gelap membentuk kesan shadow yang sangat estetis, mengesankan. Belum lagi awan-awan itu, kompak sekali menyeimuti kaki merapi seperti selimut hangat yang begitu nyaman. Aku seolah melihat senyum sang Merapi, hari ini miliknya.

Tatapan itu tidak berlangsung lama, karena aku keburu membelokkan motor ke arah gang Guru, Perempatan Karangmalang. Tapi tampaknya hari inipun jadi keberuntunganku juga, sama seperti sang Merapi. Pukul 05.23, kukayuh sepedaku yang berdecit ke arah Kuningan, kosku. Perut kenyang dan kebahagiaan penuh. Ya, bahagia sekali. Karena setelah satu bulan ini (sepertinya lebih) aku sama sekali tidak menikmati makanan favoritku di tempat keramat itu, setelah beribu kerinduan yang menggantung di relung jiwa, akhirnya sore ini terbayar lunas. Bakso Pak Narto di depan Wisma Olahraga UNY telah membentuk senyum simetris di wajahku. Tidak tanggung-tanggung, 2 mangkok dan segelas es teh, hehe tentu saja 1 mangkok di bungkus untuk kumakan berjam-jam kemudian. Entah, karena kebahagian bakso itu, atau karena kebahagian lain yang kudapat sejak sepertiga malam sebelumnya, saat aku diberi kesempatan lagi untuk menatap sang Merapi, dia terlihat lebih memukau, lebih menakjubkan. Jalanan Kuningan telah membentuk frame yang begitu indah bagi sang Merapi. Sepanjang jalan yang tidak terlalu lebar itu, aku tersenyum dengan ringannya tanpa memperdulikan orang-orang yang berlalu lalang (termasuk banyak orang yang tengah menikmati nasi kucing Kuningan yang terkenal nikmat itu). Mungkin mereka mengganggapku aneh, mungkin.

((Sedikit selingan. Aku ingin menyampaikan bahwa aku tadi sendirian. Ya, makan bakso dan pulang sendirian seperti kebiasaan lamaku. Hari ini aku ingin berusaha menghilangkan keluhku tentang kesendirian dan kasih sayang. Aku ingin menatapnya dengan lebih bahagia. Lebih dari cukup atas apa yang terjadi dua hari kemaren, mengembalikan aura positif di sekitarku. Aku tidak peduli lagi sedang beraktivitas dengan siapa, bahkan sendirian sekalipun, tak ada masalah. Karena aku yakin, mereka (orang-orang yang kusayangi) selalu mengingatku dalam tiap keadaan, seperti juga aku yang merindukan mereka di tiap tarikan napas (huhu, mulai melankolis lagi).

Betapa menakjubkan urusan orang-orang beriman. Segala perkaranya adalah kebaikan. Dan itu tidak terjadi kecuali pada orang yang beriman.  Jika mendapat nikmat ia bersyukur, dan syukur itu baik baginya. Jika ditimpa musibah ia bersabar, dan sabar itu baik baginya.

Indah bukan?

Ketika mereka ada di sampingku dan membentuk rona-rona indah di wajahku, aku akan bersyukur. Sungguh mereka selalu memberikan yang terbaik. Dan ketika mereka tidak ada, jauh dari tempatku berada, aku akan bersabar. Karena sungguh, mereka pasti sedang melakukan kebaikan-kebaikan di luar sana. Mengerjakan kegiatan yang tidak sia-sia. Aku akan berusaha melakukan hal yang sama, di sini, di tempatku berdiri, meski dengan cara yang berbeda.

Sungguh. Aku mau menjadi golongan mereka. Orang-orang yang beriman.))

Tiba di kos, segera saja aku naik ke lantai 3. Di sana aku bisa mengamati merapi semauku, sepuas hatiku. Ya, tempat itu tidak berdinding kecuali sebatas lutut, hanya beratap dengan hiasan tali-temali tempat biasa kami menjemur baju-baju. Di sana, tidak ada yang menghalangiku menatap hamparan kota, melihat Merapi, mengamati langit…

Subhanallah… Aku melihat keagungan tak terkira.

Senja yang jernih dan terang. Lagi-lagi sang Merapi anggun di depan sana diselimuti awan-awan, angkuh sekali (Ah, aku tidak bisa membedakan ‘angkuh’ dan ‘anggun’!). Hanya saja kali ini lebih kemilau. Mentari senja telah membuat Merapi dan awan-awan itu gemerlap keemasan. Aku tidak punya kosa kata sepadan untuk menggambarkan keindahannya. Aku menatapnya lama, di selingi obrolan dengan dua orang temanku yang juga sedang menikmati sore. Banyak yang kami bicarakan. Tentang keberuntungan berada di kos yang sangat nyaman, tentang cinta dan cita saat membuatnya, tentang harga sewa kos yang tahun depan akan naik, tentang lukisan yang harusnya kubuat setelah melihat pemandangan ini. Satu yang agak menyayat… Adik kosku bilang, nantinya, jika semua gedung akan setinggi menara UGM sana, takkan ada lagi yang dapat menatap hamparan kota, melihat Merapi, mengamati langit, menghabiskan senja dengan menikmati angin sepoi dari sini…

Pembicaraan masih terus berlangsung, tapi tatapanku kosong ke depan menatap Merapi. Di sela ketakjuban itu, melintas pesawat dari arah selatan. Meliuk begitu anggun, berbelok. Sayapnya berada 30 derajat dari tempat seharusnya, miring. Kupikir dia menuju utara, ke Kalimantan, ternyata dengan gerakan ekstrim (bagiku) sekaligus indah tadi dia berganti arah menuju ke timur. Entah ke mana, mungkin Bali, mungkin Papua. Ya Allah, yang membuatku terpana kemudian, pesawat tadi telah mengarahkan pandanganku pada langit senja yang begitu luar biasa. Arah jam 2 dari tempatku duduk. Disana langit dan awan memadu kasih dengan indahnya. Warna-warna berpadu, menerjemahkan bahasa cahaya mentari dengan pembahasaannya masing-masing. Ada biru di sana, ada putih, ada jingga, ada hijau, ada merah muda, ada kuning, ada abu-abu, ada coklat muda, aku tertegun melihat salah satunya: Awan itu ungu! Ungu muda! Lembut! Seperti gaun penganting yang jatuh terurai ke hamparan biru langit! Anggun sekali!

Allah… Aku menghela napas berkali-kali.

Langit desaku di tengah pulau Sumatra sana selalu memukau, tapi langit kota ini memberiku makna berbeda, keindahan berbeda, kisah berbeda. Hmm… Semoga Dia memperkenankanku menikmati langit-langit di atas bumi-Nya yang lain. Entah kapan…


Aku menghela napas lagi.

Ingin rasanya aku berlari ke kamar mengambil kanvas dan kuas, melukiskan keindahan agung ini. Tapi tanganku tak kuasa. Aku lemah. Mana mampu kuterjemahkan kerumitan warna-warna padu ini dengan bahasa rupaku yang masih kacau, masih kemampuan manusia. Ah, aku bukan malaikat, apalagi Tuhan yang Maha Mencipta.

Otakku kembali berputar, tidak ingin kehilangan dokumentasi momen ini. Tapi apa daya, flipku ngedrop, HP kameraku tidak bernyawa, teman-teman koskupun sedang tidak membawa benda-benda itu, dan sahabat-sahabatku yang kuajak sms-an sejak pulang dari warung bakso pak Narto tadipun mengirim kabar buruk. “Kameraku di bawa mbak…”

Hmmmm… Aku menghela napas sekai lagi. Mungkin senja ini memang tidak untuk di simpan dalam rupa gambar, karena hasilnya takkan sama, kemampuan kamera yang hanya beberapa megapiksel takkan mampu menyimpan detil nuansa sunset ini. Mungkin memang senja ini hanya disiapkan untuk direkam oleh mata, disimpan dalam memori otak, dan diterjemahkan dalam rasa yang membuncah, kebahagiaan yang akan muncul kapan saja ketika aku mengingatnya.

Subhanallah…

Kepada teman-temanku yang sedang beraktivitas penuh di luar sana, yang sedang berikhtiar sepenuh hati di jalan juang sana, (maaf tidak ikut agenda malam ini), cobalah luangkan waktumu sejenak saja. Menatap langit. Rasakan betapa memukaunya, biarkan dirimu terlena, hingga tanpa sadar kau akan tersenyum sendiri. Aku yakin, kekuatan itu akan memenuhi rongga dadamu, hingga kau bisa melanjutkan harimu lagi dengan semangat yang sekian kali lebih dahsyat!

Teman-temanku, aku mencintai kalian karena-Nya…



Dan mengenai judul ini. Hehe. Aku juga tidak mengerti.


“Jangan fitnah Merapi” hanya kukopi dari status Facebook seorang teman. Teman kos yang tadi bersamaku memandang sang Merapi. Entah, aku tidak mengerti apa maksudnya, dia juga tidak bercerita. Biarlah, biar menjadi rahasianya, juga bukan sifatku terlalu bertanya banyak ingin tahu. Nanti juga kalau dia mau, dia akan bercerita. Biarlah kali ini kuartikan menurut hatiku sendiri.

Merapi di sana mungkin terlihat angkuh (anggun?), mungkin menatapnya membuat jiwa-jiwa kebanyakan orang membiru, miris, gerimis. Gunung itu pernah meninggalkan kisah duka. Duka yang teramat rumit untuk diuraikan. Duka yang tak habis di sapu waktu barang setahun dua tahun.

Tapi, tahukah? Dia hanya menjalankan tugasnya. Menyampaikan ayat-ayat pencipta-Nya. Entah ayat-ayat itu akan dimaknai apa. Mungkin akan dimaknai sebagai teguran, akan dimaknai sebagai azab, atau sebagai sarana bercermin diri, sarana perbaikan, menyadari akan tumbuh ladang-ladang subur setelahnya, mata air bening mengalir di bawahnya. Akan ada banyak pemaknaan. Terserah hendak dimaknai apa. Nyatanya, ini hanya untaian tasbih.Tasbih cinta makhluk pada Tuhannya.

Sungguh, jangan fitnah merapi.

3 komentar:

  1. Maem Bakso ra ngejak2 jan..
    ------------------------------

    gunung2, phon, laut, bumi, semua berdzikir kepada Allah...

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komunitas Blogger Muslim