Selasa, 01 Januari 2013

Tirai Violet pada Jendela


Rumah tanpa jendela

Kenapa tiba-tiba kaca-kaca rumah kita pecah? Mamak memungutinya, satu persatu serpih, menyapu debunya. Bapak mengambil papan-papan bekas, memotongnya satu meter-satu meter, memakunya berjajar. Kasar sekali papan itu. Aku tahu kita tidak punya cukup uang untuk membeli selembar amplas. Bapak berpeluh duduk menduduki papan memandangi jendela kita. Aku tahu yang bapak pikirkan.

“Nak, berhentilah mengeluh tentang hidup. Kamu kan teko. Jangan melulu minta diisi, cobalah menuang sesekali.”

Mungkin malah kau tidak tahu kalau mamak sesenggukan di setiap ujung malam.  Aku tahu dia tahajud. Pernah suatu hari kupergoki, dia terkejut. Tapi kemudian dia memelukku, berpesan.


“Nak, berhentilah mengeluh tentang hidup. Bukankah Tuhan mencipta mata yang dua dan telinga juga dua biar kamu lebih banyak mendengar dan melihat. Mulutmu satu biar kau tidak terlalu banyak bicara. Dua buku yang kau baca, untuk satu buku yang kau tulis...”

Lantai rumah selalu berdecit tiap kali mamak membenarkan posisi duduk. Aku masih di pangkuannya, memandangi genteng-genteng yang sering melorot, membuat basah lantai-lantai kayu yang sekarang jadi keropos. Aku tahu mamak cemas, kurasakan lewat gemetar tubuhnya. Dia takut kau tak menemukan jalan pulang, kau lupa tikungan menuju rumah kita.

Atau sebenarnya kau yang takut?

Takut tidak bisa makan seperti waktu-waktu dulu. Sepiring nasi aking yang dicampur air, sepotong tempe benguk dibagi empat. Apa kau takut kelaparan? Atau kau takut tidak bisa sekolah? Kenapa kau tidak juga percaya pada yang kukatakan?

Ibu, adalah madrasah terbaikmu.

Tapi aku tahu. Kau lebih suka sekolah di gedung bercat biru dan putih itu. Pagi-pagi memasuki gerbangnya, menggendong tas warna ungu yang masih baru, tertawa-tawa dengan teman sebayamu. Kau akan berusaha semampumu untuk duduk di bangku sekolah itu, demi, dan begitulah tiap pagi kau akan menangis minta didaftarkan ke sekolah negeri.

Itu bedanya kita. Sedangkan aku, lebih suka berguru pada ibu, mamak kita.
Rumah kita masih reot, masih gubuk yang gentengnya melorot, masih lantai kayu yang keropos. Dan kerja keras bapak masih sama, kasih sayang mamak masih sama, keingintahuanku masih sama, egomu masih sama.

Tapi itu dulu, kan?

Waktu kita sama-sama bersandal jepit menyusuri jalan becek berkoral-koral tajam. Kini lihatlah sepatuku! Putih bergaris ungu. Kau suka ungu, kan? Ayolah sini, pulang saja! Bapak akan membelikanmu sepatu yang sama denganku. Atau yang lebih bagus, kalau kau mau.

Aku ingin kau pulang saja, dik. Kami rindu. Jangan marah cuma gara-gara acara televisi yang kau suka hari ini tidak tayang, padahal kau sudah mati-matian berlari dan meminta izin menonton di rumah temanmu. Masa begitu saja kau memilih melempari kaca-kaca jendela dengan batu. Membuat susah mamak yang kakinya berdarah ketika menyapu dan bapak yang jadi bingung mau diapakan satu-satunya jendela rumah kita itu.
Tapi rumah kita kini sudah istana, dik. Lantainya marmer! Tidak ada lagi genteng yang melorot! Tidak ada lagi lantai yang keropos! Jangan malu buat pulang…

Bukannya kita satu keluarga? Kita keluarga sejak jendela rumah masih kaca-kaca buram berlumut, hingga kau memecahkannya. Bahkan kini saat jendela rumah kita setinggi pohon kersen bersinar-sinar, kita tetap keluarga.

Keluarga
Keluarga
Keluarga

Keluarga?

Tiba-tiba pintu depan dibuka.

Aku belum bisa melihat tubuhmu dengan sempurna beberapa detik itu. Silau ya. Karena rumah kita menghadap timur, dan pagi-pagi begini cahaya matahari selalu bisa membuatku bangun tanpa memasang alarm.

Beberapa saat kemudian kau terlihat utuh. Wajahmu terkejut. Sepertinya kau juga baru sadar bahwa yang berdiri di depanmu itu adalah aku. Agak lama kita terdiam. Aku mempersilakan duduk. Entah kenapa, aku merasa kau datang bukan untuk pulang tapi hanya sekedar bertamu, makanya aku tidak memelukmu.

Kau mulai menjelaskan beberapa hal.
Kau sudah membeli tanah dan rumah ini, serta telah mengadopsi seluruh anak-anak yang masih lelap di kamarnya masing-masing pagi-pagi begini. Iya, sepertinya kau juga sudah tahu sejak lama kalau rumah ini sudah menjadi panti asuhan. Bapak dan mamak yang memperjuangkannya. Cuma aku tidak tahu kalau kau sekarang begitu kaya.

Tapi anehnya, di tengah penjelasanmu kau tiba-tiba menangis. Sesenggukan. Seperti mamak di ujung solat tahajudnya. Lalu kita tidak bedialog apa-apa lagi setelahnya, paling tidak secara lisan. Tapi kita saling membaca. Banyak sekali yang terucap lewat matamu.

Kau ingin sekali berteriak, memecahkan gelas-gelas, atau mengambil sebuah batu lalu kau lempar ke jendela seperti dulu. Kau ingin sekali memakiku, mengeluarkan kata-kata marah yang kau pendam sejak lama.  Kau ingin berlari lagi, tidak ingin menemuiku, menemui mamak, menemui bapak. Kau ingin pergi dari sini.
Tapi kau hanya menangis.

Berdamailah…
Bukankah indah jika kita berjalan bersamaan. Kita akan kuat jika kau ada di sini, saat ini. Kenapa berlari menjauh tersuruk-suruk? Apakah hatimu hujan deras? Bukankah kita sudah sepakat untuk menangis di masa lampau saja, menangis bersama, tapi setelahnya kita kita akan tertawa menikmati secangkir coklat hangat sambil bercakap tentang kemenangan kita hari ini.

Berdamailah…
Aku tahu cita-citamu setinggi bintang. Kau ingin menjadi sempurna. Tapi menjadi sempurna itu butuh kesabaran. Iya, iya. Sabar itu memang sulit. Menjalaninya tiap hari dengan rasa lapar, kedinginan, kecewa memang sulit. Tapi bukankah lebih sulit menjalani hidup ini jika kau tidak sabar? Buktinya, meski kau merasa kau telah sempurna dalam kesendirian, tetap ada yang hilang di sana. Kurang satu. Iya, kan?

Berdamailah…
Jangan selalu meminta dan menuntut. Jika semua orang telah berubah menjadi peminta dan penuntut, siapa lagi yang akan memberi dengan ikhlas dan bertanggung jawab tentang yang telah diusahakannya?  Cobalah untuk tsiqoh, meski itu sulit. Bertahanlah, karena bapak dan mamak sudah mengusahakan yang terbaik.

Ah, itu hanya nasehat yang tak ingin kuucapkan. Mungkin kau sebenarnya bisa membaca mataku, tapi tetap saja itu hanya monolog yang takkan kau mengerti secara utuh. Toh, aku lebih suka kau memahaminya lewat pengalaman, bukan paksaan. Seperti yang Tuhan ajarkan tentang menanamkan pemahaman. Butuh bertahun-tahun lamanya untuk menyelesaikan turunnya tiga puluh juz Al-Quran, padahal jika Dia mau, sekejab saja sudah cukup.

Sudahlah, sembari kau mengelap pipimu yang banjir, aku akan naik ke atas. Aku yakin masih ada kamar kosong di sana, di sebelah perpustakaan kecil yang dibuat bapak sejak dua tahun lalu. Akan kubersihkan kamar itu. Memilihkan beberapa bantal dan selimut yang masih bagus, menatanya. Memasang tirai pada jendela-jendela rumah kita. Oh ya, kau mau tirai yang warna apa? Violet?

***

2 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Komunitas Blogger Muslim